Kolokium Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor

Archive for the ‘agraria’ Category

Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani

Posted by kolokium kpm ipb pada 22 April 2009

MAKALAH KOLOKIUM

Nama Pemrasaran/NRP : Tri Lestari/I34054041

Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pembahas/NRP : Andi Alfurqon /I34052087

Dosen Pembimbing/NIP : Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS./131475577

Judul Rencana Penelitian : Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani

Tanggal dan Waktu : 21 April 2009, 14.00-14.50 WIB

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar. Jumlah penduduk ini terus bertambah setiap tahunnya. Sebagai gambaran, tingkat kepadatan penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah 108 jiwa per kilometer persegi, jumlah ini meningkat jadi 116 orang per kilometer persegi pada tahun 2005 (Data BPS, 2005)[1]

Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan dalam berbagai bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya permintaan akan lahan. Permintaan akan lahan tersebut terus bertambah, sedangkan kita tahu bahwa lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Hal inilah yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian.

Konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Utomo dkk, 1992).

Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif.

Lahan pertanian dapat memberikan manfaat baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Oleh karena itu, semakin sempitnya lahan pertanian akibat konversi akan mempengaruhi segi ekonomi, sosial dan lingkungan tersebut. Jika fenomena konversi lahan pertanian ke non-pertanian terus terjadi secara tak terkendali, maka hal ini akan menjadi ancaman tidak hanya bagi petani dan lingkungan, tetapi hal ini bisa menjadi masalah nasional.

Kelurahan Mulyaharja yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan merupakan wilayah yang masih memiliki banyak lahan pertanian yang produktif. Pemandangan pertama yang terlihat saat memasuki wilayah Mulyaharja adalah puluhan petak sawah yang terhampar luas di samping kiri dan kanan. Belakangan ini luasan lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin maraknya fenomena konversi lahan di wilayah tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain adalah:

1. Bagaimana kondisi taraf hidup petani sebelum terjadinya konversi lahan?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengkonversi lahannya?

3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan bagi taraf hidup petani?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui kondisi taraf hidup petani sebelum terjadinya konversi lahan.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengkonversi lahannya.

3. Menganalisis dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan bagi taraf hidup petani.

1.4 Kegunaan Penelitian

Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam mengaplikasikan ilmu yang didapat selama masa perkuliahan. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian berikutnya.

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep Agraria

Pengertian agraria menurut UUPA 1960 (UU No.5 Tahun 1960) dalam Sitorus (2002) adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Sitorus (2002) menyatakan bahwa jenis-jenis sumber agraria meliputi:

1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari pertanian dan peternakan.

2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan.

3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan.

4. Bahan tambang, yang terkandung di “tubuh bumi”

5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri.

Sitorus (2002) mengemukakan bahwa konsep agraria merujuk pada berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Sitorus (2002) juga mengemukakan bahwa subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas, pemerintah dan swasta. Masing-masing subjek agraria tersebut memiliki hubungan yang dapat dilihat melalui gambar berikut:

i34052087-a1

2.1.2 Konsep dan Definisi Lahan

Tanah atau lahan merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam kehidupan manusia karena setiap aktivitas manusia selalu terkait dengan tanah. Tanah merupakan tanah (sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai kedalaman lebar yang ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan dengan vegetasi dan pertanian sekarang) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air dan tumbuhan penutup yang dijumpai (Soepardi, 1983 dalam Akbar, 2008).

Utomo (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan, memiliki dua fungsi dasar, yakni:

1. Fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan hutan produksi dan lain-lain.

2. Fungsi lindung; kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.

Sihaloho (2004) membedakan penggunaan tanah ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Masyarakat yang memiliki tanah luas dan menggarapkan tanahnya kepada orang lain; pemilik tanah menerapkan sistem sewa atau bagi hasil.

2. Pemilik tanah sempit yang melakukan pekerjaan usaha tani dengan tenaga kerja keluarga, sehingga tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani.

3. Pemilik tanah yang melakukan usaha tani sendiri tetapi banyak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani, baik petani bertanah sempit maupun bertanah luas.

2.1.3 Konversi Lahan

Utomo dkk (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:

1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.

2. Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.

3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.

5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.

6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.

7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.

Sumaryanto (1994) dalam Furi (2007) memaparkan bahwa jika suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, segera lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi dan sifatnya cenderung progresif.

Irawan (2005) dalam Akbar (2008) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.

Konversi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa konversi lahan merupakan konsekuensi dari perkembangan wilayah. Sebagian besar konversi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh pihak kapitalis dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di Indonesia, terdapat tiga macam ketimpangan (Cristo-doulou sebagaimana dikutip Wiradi, 2000), yakni:

1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah

Kepentingan/keberpihakan Pemerintah. Peran pemerintah mendominasi dalam menentukan kebijakan peruntukan penggunaan lahan dan mendukung pihak bermodal dan penguasaan lahan, sedangkan peran masyarakat rendah.

2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah

Terdapatnya indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya diperuntukan bagi pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non pertanian semakin bertambah luas.

3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria

Terjadi perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas tanah, yakni pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum positif dengan penduduk yang berpegang pada hokum normatif/hukum adat.

2.1.4 Faktor Penyebab

Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Kustiwan (1997) dalam Supriyadi (2004) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi.

2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.

Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu:

1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air

2. Dinamika pembangunan

3. Peningkatan jumlah penduduk

Pakpahan, et.al (1993) dalam Munir (2008) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, petumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani, sebagaimana dikemukakan oleh Rusastra (1994) dalam Munir (2008) adalah sebagai pilihan alokasi sumber daya melalui transaksi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah. Sehingga diperlukan kontrol agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir (2008) di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, dapat diketahui bahwa ada faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi lahan. Faktor- faktor tersebut meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.

2.1.5 Konsep Petani

Wolf (1985) dalam munir (2008) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Bahari (2002) dalam Munir (2008) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural.

Menurut Shanin (1971) seperti yang dikutip oleh Subali (2005),[2] terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.

2.1.6 Taraf Hidup dan Kesejahteraan

Kata “taraf” dalam kamus besar bahasa Indonesia (1997) berarti mutu atau kualitas. Jadi taraf hidup dapat diartikan sebagai suatu mutu hidup atau kualitas hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat.

Sawidack (1985) dalam Munir (2008) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut.

BPS (2008) dalam Munir (2008) memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumah tangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan menghitung pola konsumsi rumah tangga.

Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (1995) dalam Munir (2008) antara lain adalah: kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, sosial dan budaya

Kesejahteraan pedesaan menurut Mosher (1974) dalam Furi (2007) berarti tingkat kepuasaan bagi penduduk pedesaan dan tidak mencakup sumbangan-sumbangan yang menyenangkan bagi masyarakat pedesaan dari pihak luar, baik pemerintah maupun swasta. Empat aspek kesejaheraan pedesaan yakni:

1. Tingkat kehidupan fisik keluarga pedesaan, yang sangat bergantung pada penghasilan keluarga dan berarti bergantung pada perkembangan pertanian.

2. Kesejahteraan dan kegiatan-kegiatan bersama di desa, yaitu ketentraman dan kegiatan kelompok yang meliputi hukum dan ketertiban, pendidikan, kesehatan, dan kegiatan kelompok informal.

3. Kesempatan untuk ikut serta mengambil bagian dalam peristiwa-peristiwa kekeluargaan dan kemasyarakatan.

4. Perarturan-perarturan dan Undang-Undang yang mengurus tentang hak-hak manusia atas penggunaan tanah.

Yosep (1996) dalam Furi (2007) mengemukakan dua pendekatan kesejahteraan, yakni:

1. Pendekatan makro, kesejahteraan dengan indikator-indikator yang telah disepakati secara alamiah, sehingga ukuran kesehateraan masyarakat berdasarkan data-data epiris suatu masyarakat.

2. Pendekatan mikro, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sejahtera.

2.2 Kerangka Pemikiran

i34054041

Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai secara ekonomis. Saat ini, jumlah luasan tanah pertanian tiap tahunnya terus mengalami pengurangan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat. Pada akhirnya, terjadilah konversi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan, industri, dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada. Konversi lahan yang terjadi tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan komunitas (masyarakat).

Merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu, maka dalam penelitian ini diduga bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengkonversi lahan pertaniannya. Faktor-faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi tingkat pendapatan rumah tangga petani, jumlah tanggungan anggota keluarga, tingkat ketergantungan pada tanah, luas lahan yang dimiliki, umur petani, tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal dapat meliputi kebijakan pemerintah, pengaruh pihak swasta (investor), serta jumlah rumah tangga petani yang mengkonversi lahan pertanian di daerah tersebut.

Setelah melihat keterkaitan antara kedua faktor tersebut dengan keputusan petani untuk mengkonversi lahan, maka akan dilihat pula pengaruh konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani. Diduga bahwa konversi lahan memiliki hubungan dengan taraf hidup petani. Dalam hal ini taraf hidup akan diukur melalui indikator yang meliputi pendapatan, perumahan, pendidikan, kesehatan, kepemilikan aset.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis Umum

1. Diduga bahwa ada hubungan antara faktor internal dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

2. Diduga ada hubungan antara faktor eksternal dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

3. Diduga bahwa Konversi lahan pertanian akan berpengaruh terhadap taraf hidup petani

Hipotesis Khusus

1. Diduga ada hubungan antara tingkat pendapatan rumah tangga petani dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

2. Diduga ada hubungan antara jumlah tanggungan anggota keluarga petani dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

3. Diduga ada hubungan antara tingkat ketergantungan terhadap lahan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

4. Diduga ada hubungan antara luas lahan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

5. Diduga ada hubungan antara usia petani dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

6. Diduga ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

7. Diduga ada hubungan antara jumlah tetangga yang mengkonversi lahan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

8. Diduga ada hubungan antara pengaruh swasta dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

9. Diduga ada hubungan antara kebijakan pemerintah dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

10. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.

11. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi pendidikan rumah tangga yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.

12. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi perumahan (tempat tinggal) yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.

13. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi kesehatan keluarga yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.

14. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi kepemilikan aset yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.

Definisi Operasional

1. Tingkat pendapatan rumah tangga adalah total pendapatan rata-rata responden yang diperoleh selama satu bulan.

Pengukuran:

1. Tinggi: > Rp. 2.000.000

2. Sedang: Rp 1000.000-Rp 2.000.000

3. Rendah: < Rp 1000.000

2. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya angoota keluarga yang sampai saat ini masih menjadi tanggungan responden dalam pemenuhan kebutuhan hidup.

Pengukuran:

1. Sedikit: ≤ 4 orang

2. Banyak: > 4 orang

3. Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari keseluruhan total pendapatan rumah tangga responden.

Pengukuran:

1. Rendah: <0, 75 persen pendapatan tumah tangga

2. Tinggi: ≥0,75 persen pendapatan rumah tangga

4. Luas lahan yang dimiliki adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam satuan hektar.

Pengukuran:

1. Sempit : <0,25 hektar

2. Sedang : 0,25-0,49 hektar

3. Luas : ≥0,5 hektar

5. Usia adalah rentang waktu dari lahir hingga sekarang yang dimiliki oleh responden (dinyatakan dalam tahun).

Pengukuran:

1. 30-40 tahun

2. 41-50 tahun

3. > 50 tahun

6. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang pernah dijalani oleh responden.

Pengukuran:

1. Tidak sekolah

2. Tamat SD/sederajat

3. Tamat SMP/sederajat

4. Tamat SMA/sederajat

7. Jumlah rumah tangga petani yang mengkonversi lahan adalah banyaknya petani di sekitar wilayah tempat tinggal responden yang ikut mengkonversi lahan pertaniannya.

Pengukuran:

1. Rendah: ≤ 5 orang

2. Tinggi: > 5 orang

8. Pengaruh swasta (investor) adalah pengaruh yang diberikan oleh pihak yang berkepentingan dengan lahan tersebut untuk mempengaruhi petani agar mau mengkonversi lahan pertaniannya.

Pengukuran:

1. Ada pengaruh: pihak swasta mendatangi responden untuk membujuk agar mau menjual lahannya (melakukan negosiasi).

2. Tidak ada pengaruh: tidak ada pihak swasta yang mendatangi responden.

9. Kebijakan pemerintah adalah ada atau tidaknya dukungan pemerintah daerah setempat untuk mempertahankan lahan pertaniannya.

Pengukuran:

1. Ada dukungan: pemerintah memberikan bantuan pada responden dalam upaya pengembangan pertanian.

2. Tidak ada dukungan: pemerintah tidak memberikan bantuan kepada responden dalam upaya pengembangan pertanian.

10. Taraf hidup adalah mutu hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat.

11. Kondisi perumahan (tempat tinggal) adalah keadaan fisik rumah yang ditempati oleh responden.

Pengukuran:

1. Layak : luas bangunan memadai dan fisik bangunan permanen

2. Tidak layak : luas bangunan tidak memadai dan fisik rumah tidak permanen

12. Pendidikan keluarga adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak.

Pengukuran:

1. Rendah: tidak bersekolah

2. Sedang : SMP

3. Tinggi : ≥ SMA

13. Kesehatan adalah kondisi/ keadaan jasmani rumah tangga responden.

Pengukuran:

1.Tinggi : kondisi kesehatan baik, tidak banyak menderita penyakit.

2. Rendah : kondisi kesehatan buruk, banyak menderita penyakit.

15. Kepemilikan aset adalah jumlah barang berharga yang dimiliki rumah tangga petani

Pengukuran:

1. Tinggi : memiliki rumah, tanah, kendaraan, dan lebih dari lima jenis barang elektronik.

2. Sedang: memiliki rumah, kendaraan, dan barang elektronik sejumlah lima

3. Rendah: memiliki rumah/sewa/kontrak dan memiliki kurang dari lima jenis barang elektronik.

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Metode penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sample dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, 1989). Sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan metode studi kasus.

Data-data kuantitatif diperoleh dari hasil kuesioner sebagai instrument utama. Sedangkan data kualitatif diperoleh dari observasi lapang secara langsung dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Informan yang akan diwawancarai adalah pihak-pihak yang dianggap mengetahui keadaan sekeliling seperti aparat desa, tokoh masyarakat dan masyarakat setempat. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti dibekali dengan panduan pertanyaan.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner dan hasil wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen kantor Kelurahan Mulyaharja. Sumber pustaka lain yang dijadikan data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku, artikel dari internet, skripsi, thesis, serta makalah yang berkaitan dengan topik penelitian.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kabupaten Bogor. Kelurahan Mulyaharja merupakan daerah yang masih banyak memiliki lahan pertanian (sawah). Lahan pertanian yang ada di Kelurahan Mulyaharja ini merupakan lahan pertanian yang masih produktif. wilayah ini kemudian mengalami konversi lahan akibat adanya perluasan kawasan perumahan Bogor Nirwana Residence (BNR) di atas lahan yang masih produktif tadi. Berdasarkan hal tersebut, maka lokasi ini dirasakan relevan dengan tujuan penelitian. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu dimulai dari bulan Mei-Juni 2009.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Unit analisis dari penelitian ini adalah rumah tangga petani Kelurahan Mulyaharja. Jumlah responden yang akan diambil adalah sebanyak 30 orang. Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan teknik Stratified random sampling. Sedangkan untuk pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik Snowball sampling (bola salju).

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data kuantitatif yang telah terkumpul dari kuesioner kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS. Uji statistic yang digunakan adalah tabulasi silang dan uji statistic chi-square. Hal ini ditujukan untuk melihat adanya hubungan antara variable-variabel dengan skala minimal nominal. Sedangkan untuk analisis data kualitatif hanya terbatas pada teknik pengolahan data seperti membaca grafik, table, dll yang kemudian dianalisis secara kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA

2008. Komunitas Petani. http://mahmudisiwi.net/komunitas-petani. [diakses tanggal 25 Maret 2009].

Akbar, Rizky Ali. 2008. Proses Pembebasan Tanah Pertanian Untuk Pembangunan

Kawasan Perumahan. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Furi, D.R. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Kurniawati, Yoyoh. 2005. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Daya Dukung Lahan di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. [Tesis] Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Munir, Misbahul. 2008. Hubungan Antara Konversi Lahan Pertanian dengan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang Pertanian 25(4) 2006.

Putri, Rubyani.I. 2008. Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Tata Guna Lahan Perkotaan. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sihaloho, Martua. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [Tesis] Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Sitorus, MT. F. 2002: Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria :70 Tahun

Gunawan Wiradi, Penyunting Endang, Suhendar et al. Yayasan AKATIGA, Bandung.

Supriyadi, Anton. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan

Pertanian. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Utomo, M., Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan. Lampung: Universitas Lampung.

Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir.

Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset.

Lampiran 1.

Kuesioner

Petunjuk:

Isilah jawaban pada titik-titik (….) serta berilah tanda ( X ) pada setiap ( ) yang sesuai di bawah ini

Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengkonversi lahan.

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN

1. Nama :

2. Umur :

3. Jenis Kelamin :

4. Tempat Tinggal :

5. Pendidikan Terakhir :

( ) Tidak sekolah

( ) Tidak tamat SD

( ) Tamat SD/sederajat

( ) Tamat SMP/sederajat

( ) Tamat SMA/sederajat

( ) Lainnya……..

B. EKONOMI RESPONDEN

a. Jumlah Tanggungan

6. Berapa jumlah anggota keluarga Anda (termasuk Anda)?

………. orang

7. Berapa jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan Anda (termasuk Anda)?

………. orang

8. Apakah Anda mempunyai anak (usia sekolah) yang masih bersekolah?

( ) Ya ( ) Tidak

Jika tidak, apa alasannya: ………..

9. Berapa jumlah anak Anda yang masih bersekolah?

………. Orang

b. Tingkat Pendapatan Rumah Tangga

10. Apakah anggota keluarga Anda ada yang sudah bekerja (tidak termasuk Anda)?

( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 14)

11. Berapa jumlah anggota keluarga Anda yang sudah bekerja?

………. Orang

12. Apakah anggota keluarga Anda yang sudah bekerja tersebut ikut membantu dalam memenuhi kebutuhan keluarga?

( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 14)

13. Berapa proporsi bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga Anda yang sudah bekerja tersebut?

………. % dari kebutuhan keluarga

14. Berapa total pendapatan rumah tangga Anda?

Rp……………/bulan

15. Apakah pendapatan tersebut dapat mencukupi kebutuhan keluarga Anda (terutama dalam hal konsumsi)?

( ) Ya ( ) Tidak

Jelaskan…………………………………………………………………

c. Kepemilikan Lahan

16. Apakah Anda memiliki lahan?

( ) Ya ( ) Tidak

17. Jika ya, berapa luas lahan tersebut?

………. Ha

18. Apakah status lahan yang Anda miliki?

( ) gadai ( ) sewa ( ) bagi hasil ( ) milik

19. Apakah ada bagian dari lahan yang Anda konversi?

( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 21)

20. Berapa persentase lahan yang Anda konversi dari total lahan yang Anda miliki?

………. % lahan

d. Tingkat Ketergantungan pada Lahan

21. Berapa total pendapatan rumah tangga yang berasal dari lahan pertanian?

Rp………. /bulan

22. Apakah Anda hanya bergantung pada lahan pertanian sebagai sumber penghasilan?

( ) Ya ( ) Tidak

23. Jika tidak, apakah sumber penghasilan lain yang Anda miliki?

………………………………………………………………………………

24. Berapa persentase pendapatan lahan pertanian dari total pendapatan Anda per bulan?

………. %

C. FAKTOR EKSTERNAL

25. Apakah ada dari tetangga Anda yang memiliki lahan pertanian di sekitar Anda yang mengkonversi lahan pertaniannya?

( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 28)

26. Berapa banyak tetangga Anda yang mengkonversi lahan pertaniannya?

………. Orang

27. Apakah hal tersebut mempengaruhi Anda untuk ikut mengkonversi lahan?

( ) Ya ( ) Tidak

28. Apakah ada pengusaha (swasta) di bidang non-pertanian yang mempengaruhi Anda dalam mengkonversi lahan?

( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 31)

29. Berapa kali pengusaha tersebut datang menemui Anda untuk kepentingan tersebut?

………. Kali

30. Apakah pihak pengusaha itu mempengaruhi Anda untuk ikut mengkonversi lahan?

( ) Ya ( ) Tidak

31. Apakah pemerintah daerah mendukung pengembangan pertanian di sini?

( ) Ya ( ) Tidak (langsung ke nomor 33)

32. Apakah bentuk dukungan pemerintah daerah tersebut?

……………………………………………………………………………

D. TARAF HIDUP RUMAH TANGGA RESPONDEN

No

Indikator

Keterangan

1.

Pendapatan rata-rata/bulan

a. <1 juta b. 1-2 juta c. >2 juta

2.

Perumahan tempat tinggal:

Dinding rumah

a. Tembok b. Bambu/triplek

Lantai rumah

a. Tanah b. Semen/keramik

Kamar mandi

a. Sumur b. sanyo c. tidak punya

3.

Kepemilikan Aset:

Perabotan

a. Televisi

b. Radio

c. Kulkas

d. DVD/VCD

e. Kipas angin

f. AC

g. Komputer

h. Telepon

i. Telepon seluler

j. Parabola

k. Setrika

l. Rice cooker

m. Mesin cuci

Kendaraan

a. Motor b. Mobil c. Tidak punya

Tanah

a. <0,25 hektar

b.0,25-0,49 hektar

c. ≥0,5 hektar

d. Tidak punya

4.

Pendidikan anak

a. SD b. SMP c. SMA d. S1 e. tidak sekolah

Lampiran 2. Panduan Pertanyaan

a. Panduan pertanyaan ( untuk responden/ petani yang mengkonversi lahan)

1. Sejak kapan Anda menjadi petani?

2. Mengapa Anda menjadi petani?

3. Tanaman apa yang paling menjanjikan?

4. Apakah dengan bertani Anda bisa memenuhi kebutuhan hidup?

5. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di desa ini? Apa saja bantuan yang pernah diberikan oleh pemerintah? Jelaskan!

6. Bagaimana cara Anda memperoleh lahan tersebut?

7. Seberapa penting lahan tersebut bagi Anda?

8. Apa fungsi utama lahan menurut Anda?

9. Sejak kapan Anda ikut mengkonversi lahan?

10. Mengapa Anda ikut mengkonversi lahan?

11. Jika mungkin, ceritakan proses bagaimana Anda mengkonversi lahan!

12. Apakah ada yang mendorong Anda untuk ikut mengkonversi lahan?

13. Apa yang anda rasakan setelah Anda mengkonversi lahan?

14. Menurut Anda, apakah ada perbedaan antara sebelum dan sesudah mengkonversi lahan?

15. Setelah mengkonversi lahan, apakah pendapatan rumah tangga Anda berubah? Menurun atau meningkat?

16. Apakah setelah mengkonversi lahan hidup Anda terasa lebih baik dan sejahtera?

b. Panduan pertanyaan ( untuk responden/ petani yang tidak mengkonversi lahan

1. Sejak kapan Anda menjadi petani?

2. Mengapa Anda menjadi petani?

3. Tanaman apa yang paling menjanjikan?

4. Apakah dengan bertani Anda bisa memenuhi kebutuhan hidup?

5. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di desa ini? Apa saja bantuan yang pernah diberikan oleh pemerintah? Jelaskan!

6. Bagaimana cara Anda memperoleh lahan tersebut?

7. Seberapa penting lahan tersebut bagi Anda?

8. Apa fungsi utama lahan menurut Anda?

9. Mengapa Anda tidak ikut mengkonversi lahan?

c. Panduan pertanyaan (informan/ aparat desa/ tokoh masyarakat/ warga setempat

1. Apa rata-rata jenis mata pencaharian utama masyarakat di sini?

2. Kira-kira berapa jumlah petani di sini?

3. Siapa saja petani yang memiliki lahan sendiri?

4. Siapa saja petani yang kini mengkonversi lahannya?

5. Sejak kapan fenomena konversi lahan mulai banyak terjadi di sini?

6. Menurut Anda, mengapa petani di sini banyak yang mengkonversi lahannya? Kira-kira, apa faktor utama yang mendorong hal tersebut terjadi?

7. Apakah pihak pengusaha ikut mempengaruhi proses terjadinya konversi tersebut?

8. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di sini?

9. Bagaimana reaksi pemerintah daerah terhadap fenomena konversi lahan yang marak terjadi di sini?

10. Apakah sebelum terjadinya konversi lahan status kesehatan warga di sini sudah baik?

11. Apakah setelah adanya konversi lahan menjadi kawasan perumahan, akses kesehatan jadi mudah? Apakah ada peningkatan mutu kesehatan?

12. Apakah rata-rata tingkat pendidikan masyarakat, khususnya rumah tangga petani di sini?

13. Menurut Anda, bagaimana tingkat kesejahteraan petani yang telah mengkonversi lahan?

14. Selain bertani, apakah rata-rata mata pencaharian warga di sini?

15. Apakah peluang usaha di sini terbuka lebar?

16. Apakah rumah tempat tinggal di sekitar sini rata-rata sudah merupakan bangunan permanen?

17. Menurut Anda, apakah dampak dari adanya perluasan kawasan BNR bagi masyarakat dan lingkungan setempat?



Lampiran 3. Matriks Teknik Pengumpulan Data

No

Tujuan Penelitian

Variabel

Sumber Data

Metode Pengumpulan Data

Metode Pengolahan dan Analisis Data

1

Mengetahui profil dan sejarah Kelurahan Mulyaharja

§ Kondisi geografis dan demografis

§ Sejarah dan perkembangan desa

§ Data sekunder: data dari kantor kepala desa (data potensi desa)

§ Data primer: Aparat desa, tokoh dan anggota masyarakat

§ Studi literatur

§ Wawancara mendalam

§ Pengamatan

§ Analisis kualitatif

2

Mengetahui kondisi taraf Hidup Masyarakat Kelurahan Mulyaharja

§ Pendapatan

§ Perumahan

§ Pendididkan

§ Kesehatan

§ Kepemilikan aset

§ Data primer: responden dan informan (aparat desa, tokoh masyarakat, warga setempat)

§ Data sekunder (data-data dari kantor desa)

§ Wawancara

§ Kuesioner

§ pengamatan

§ analisis kualitatif

§ SPSS

2

Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengkonversi lahannya

§ Faktor internal meliputi: tingkat pendapatan rumah tangga petani, jumlah tanggungan anggota keluarga, tingkat ketergantungan pada lahan, luas lahan yang dimiliki, usia petani, keterampilan lain di luar usaha pertanian, tingkat pendidikan.

§ Faktor eksternal meliputi: jumlah rumah tangga petani yang mengkonversi lahan, pengaruh swasta, kebijakan pemerintah

§ Data primer: informan (aparat desa, tokoh masyarakat dan warga setempat) dan responden

§ Wawancara mendalam

§ Kuesioner

§ pengamatan

§ Analisis kualitatif

§ SPSS

3

Mengetahui dampak konversi lahan bagi taraf hidup petani

§ Bagaimana taraf hidup petani setelah terjadinya konversi lahan yang meliputi tingkat pendapatan, kepemilikan aset, pendidikan, kesehatan, perumahan)

§ Data primer : informan (aparat desa, tokoh masyarakat dan warga setempat) dan responden

§ Wawancara mendalam

§ Kuesioner

§ pengamatan

§ SPSS

§ Uji statistik

§ Analisis kualitatif


Lampiran 4. Rencana Jadwal Penelitian

No

Kegiatan

Maret

April

Mei

Juni

Juli

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1.

Pengumuman Dosen Pembimbing Skripsi

2.

Penulisan Proposal dan Kolokium

1. Penyusunan Draft dan Revisi

2. Konsultasi Proposal

3. Observasi Lapang

4. Kolokium dan Perbaikan

3.

Studi Lapang

1. Pengumpulan Data

2. Analisis Data

4.

Penulisan Skripsi

1. Penyusunan Draft dan Revisi

2. Konsultasi Skripsi

5.

Ujian Skripsi

1. Ujian

2. Perbaikan Skripsi



[1] Rubyani Indrawan Putri. 2008. Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Tata Guna Lahan Perkotaan. Bogor: Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

[2] Misbahul Munir. 2008. Hubungan Antara Konversi Lahan Pertanian dengan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Bogor: Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Posted in agraria, Bogor, Jawa Barat, kesejahteraan, konversi lahan, petani | Dengan kaitkata: , , , , , , | Leave a Comment »

Pengaruh Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus: Desa Tambak, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Propinsi Banten)

Posted by kolokium kpm ipb pada 11 April 2009

MAKALAH KOLOKIUM

Nama Pemrasaran/NRP

:

Egi Massardy/I34052453

Mayor

:

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pembahas

:

Edu Darmantio

Dosen Pembimbing/NIP

:

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto,MA/131610288

Judul Rencana Penelitian

:

Pengaruh Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan terhadap Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus: Desa Tambak, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Propinsi Banten)

Ruangan/Tanggal/Waktu

:

KPM 414/ 14 April 2009/ 13.30 WIB

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebijakan pemerintah menyangkut pertanian ternyata sebagian besarnya tidak berpihak pada sektor itu sendiri. Hal ini dicerminkan dengan makin maraknya konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Selain itu, jumlah penduduk yang semakin meningkat juga mengakibatkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat padahal jumlah lahan tidak pernah berubah. Lahan pertanian menjadi korban untuk memenuhi kebutuhan lahan penduduk Indonesia.

Pembangunan daerah, dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan pada tahun 2001 sebagaimana diatur dalam UU No. 3/2004, dihadapkan pada paradigma baru. Paradigma lama yang sentralistik telah menempatkan daerah daerah hanya sebagai objek dalam pembangunan, maka setelah otonomi menjadi paradigma era daerah membangun dengan kenyataan ini bisa berdampak pada peningkatan intensitas investasi. Propinsi Banten yang ditetapkan menjadi propinsi pada tanggal 4 Oktober 2000 memberikan peluang baru pada peningkatan fungsi dan peran Kabupaten Serang dalam lingkup regional propinsi.

Menurut Kustiawan (1997), konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Secara umum kasus yang tercantum pada bagian sebelumnya menjelaskan hal yang serupa seperti pengubahan fungsi sawah menjadi kawasan pemukiman.

Konversi lahan sawah banyak terjadi di Pulau Jawa yaitu di bagian Pantura yang merupakan lumbung padi Indonesia, khususnya di Pantura Jawa Barat (Tangerang, Bekasi, Serang, dan karawang). Lahan pertanian yang subur tersebut dikonversi menjadi perumahan, industri, dan prasarana yang luasnya lebih besar bila dibandingkan dengan perluasan sawah baru. Hal ini menyebabkan luas sawah mengalami penyusutan yang cukup besar.

Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian yang muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial, yaitu keterbatasan sumber daya alam, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi. Luas lahan tidak akan pernah bertambah luas akan tetapi permintaan terhadap tanah terus meningkat untuk sektor nonpertanian. Proses konversi yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan jumlah yang semakin meningkat. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya jumlah lahan untuk pertanian dan berubahnya mata pencaharian penduduk yang biasanya bertani.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan, maka permasalahan penelitian sebagai berikut :

1. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan?

2. Bagaimanakah pengaruh perubahan penguasaan lahan pertanian menjadi kawasan industri terhadap kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan.

2. Untuk mendeskripsikan pengaruh perubahan penguasaan pertanian menjadi kawasan industri terhadap kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna bagi sebagai literatur untuk kegiatan-kegiatan penelitian selanjutnya dan dapat menambah atau mengakumulasi pengetahuan tentang permasalahan perubahan penguasaan lahan pertanian menjadi kawasan industri terhadap kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep Agraria

Pengertian agraria seperti yang tercantum dalam UUPA 1960 (UU no 5/1960) (Sitorus 2002) adalah Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Selanjutnya dari pengertian di atas Sitorus (2002) menyimpulkan bahwa jenis-jenis sumber agraria meliputi :

1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari pertanian dan peternakan.

2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan.

3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan.

4. Bahan tambang, yang terkandung di “tubuh bumi”.

5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri.

Dalam memanfaatkan sumber-sumber agraria tersebut antara pengguna/subjek agraria yaitu komunitas, pemerintah dan swasta menimbulkan bentuk hubungan antara ketiganya melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam hubungan-hubungan itu akan menimbulkan kepentingan-kepentingan sosial ekonomi masing-masing subjek berkenaan dengan penguasaan/ pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebut. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosial agraria yang berpangkal pada akses (penguasaan, pemilikan, penggunaan) terhadap sumber agraria. (Sitorus 2002)

i34052087-a1

Struktur agraria dapat mempengaruhi munculnya hubungan sosial agraris yang berbeda antara satu tipe struktur agraria dengan tipe struktur agraria lain. Ada tiga macam struktur agraria yaitu:

1. Tipe Kapitalis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan)

2. Tipe Sosialis : sumber-sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok pekerja

3. Tipe Populis/Neo-Populis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumah tangga penguna. (Wiradi 1998, dalam Sitorus 2002).

Struktur agraria yaitu[1] Suatu fakta yang menunjuk kepada fakta kehadiran minoritas golongan atau lapisan sosial yang menguasai lahan yang luas di satu pihak dan mayoritas golongan yang menguasai hanya sedikit atau bahkan tanpa tanah sama sekali di lain pihak.

2.1.2 Konversi Lahan

Menurut Utomo, dkk (1992), konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Sebagai contoh yaitu berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan pemukiman. Hal ini sejalan dengan penelitian di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari dimana lahan yang dikonversi merupakan kawasan hutan lindung yang kemudian dijadikan kawasan pemukiman oleh mereka.

Menurut Kustiawan (1997), konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Secara umum kasus yang tercantum pada bagian sebelumnya menjelaskan hal yang serupa seperti pengubahan fungsi sawah menjadi kawasan pemukiman.

Berdasarkan fakta empirik di lapangan, ada dua jenis proses konversi lahan sawah, yaitu konversi sawah yang langsung dilakukan oleh petani pemilik lahan dan yang dilakukan oleh bukan petani lewat proses penjualan. Sebagian besar konversi lahan sawah tidak dilakukan secara langsung oleh petani tetapi oleh pihak lain yaitu pembeli. Konversi yang dilakukan langsung oleh petani luasannya sangat kecil. Hampir 70 persen proses jual beli lahan sawah melibatkan pemerintah, yaitu ijin lokasi dan ijin pembebasan lahan.

Proses konversi yang melalui proses penjualan lahan sawah berlangsung melalui dua pola, yaitu pola dimana kedudukan petani sebagai penjual bersifat monopoli sedang pembeli bersifat monopsoni, hal ini terjadi karena pasar lahan adalah sangat tersegmentasi bahkan cenderung terjadi asimetrik informasi diantara keduanya. Sehingga struktur pasar yang terbentuk lebih menekankan pada kekuatan bargaining. Sedangkan tipe yang kedua adalah konversi lahan dengan bentuk monopsoni. Keterlibatan pemerintah dimungkinkan karena kedudukan pemerintah sebagai planner yang bertugas mengalokasikan lahan, dimana secara teoritis harus disesuaikan dengan data kesesuaian lahan suatu daerah lewat rencana tata ruang wilayahnya.

Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi lahan, pelaku, pemanfaatan dan proses konversi, maka tipologi konversi terbagi menjadi tujuh tipologi, yaitu (Sihaloho, 2004):

1) Konversi gradual-berpola sporadik, pola konversi yang diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama yaitu lahan yang tidak/kurang produktif/bermanfaat secara ekonomi dan keterdesakan pelaku konversi.

2) Konversi sisitematik berpola enclave, pola konversi yang mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam waktu yang relatif sama.

3) Konversi adaptif demografi, pola konversi yang terjadi karena kebutuhan tempat tinggal/pemukiman akibat adanya pertumbuhan pendudukan.

4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial, pola konversi yang terjadi karena motivasi untuk berubah dari kondisi lama untuk keluar dari sektor pertanian utama.

5) Konversi tanpa beban, pola konversi yang dilakukan oleh pelaku untuk melakukan aktivitas menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain.

6) Konversi adaptasi agraris, pola konversi yang terjadi karena keinginan untuk meningkatkan hasil pertanian dan membeli tanah baru ditempat tertentu.

7) Konversi multi bentuk atau tanpa pola, konversi yang diakibatkan berbagai faktor peruntukan seperti pembangunan perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, dan sebagainya.

2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Konversi Lahan

(Pasandaran, 2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu

1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air,

2. dinamika pembangunan,

3. peningkatan jumlah penduduk.

Sihaloho (2004) menjelaskan mengenai faktor-faktor penyebab konversi lahan di Kelurahan Mulyaharja, Bogor, Jawa Barat sebagai berikut:

1. Faktor pertambahan penduduk yang begitu cepat berimplikasi kepada permintaan terhadap lahan pemukiman yang semakin meningkat dari tahun ke tahun;

2. Faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha mencari bentuk usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk mendapatkan modal dalam memulai usahanya, petani pada umumnya menjual tanah yang dimilikinya. Masyarakat pedesaan beranggapan akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari penjualan lahan pertanian untuk kegiatan industri dibandingkan harga jual untuk kepentingan persawahan. Di sisi lain pengerjaan lahan pertanian memerlukan biaya tinggi. Sehingga petani lebih memilih sebagian tanah pertaniannya untuk dijual untuk kegiatan non-pertanian;

3. Faktor luar, yaitu pengaruh warga dari desa-kelurahan perbatasan yang telah lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak Perseroan Terbatas (PT);

4. Adanya penanaman modal pihak swasta dengan membeli lahan-lahan produktif milik warga;

5. Proses pengalihan pemillik lahan dari warga ke beberapa PT dan ke beberapa orang yang menguasai lahan dalam luasan yang lebih dari 10 hektar; dan

6. Intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Berdasarkan RTRW tahun 2005, seluas 269,42 hektar lahan Kelurahan Mulyaharja akan dialokasikan untuk pemukiman/perumahan real estate;

2.1.4 Dampak Konversi Lahan

Sihaloho, (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan berimplikasi pada perubahan struktur agraria. Adapun perubahan yang terjadi, yaitu:

1) Perubahan pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari pemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi akibat adanya konversi yaitu terjadinya perubahan jumlah penguasaan tanah. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa petani pemilik berubah menjadi penggarap dan petani penggarap berubah menjadi buruh tani. Implikasi dari perubaha ini yaitu buruh tani sulit mendapatkan lahan dan terjadinya prose marginalisasi.

2) Perubahan pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut. Konversi lahan menyebabkan pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya tenaga kerja wanita. Konversi lahan mempengaruhi berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian. Selain itu, konversi lahan menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang makin tinggi. Implikasi dari berlangsungnya perubahan ini adalah dimanfaatkannya lahan tanpa mengenal sistem “bera”, khususnya untuk tanah sawah.

3) Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang makin terbatas menyebabkan memudarnya sistem bagi hasil tanah “maro” menjadi “mertelu”. Demikian juga dengan munculnya sistem tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai. Perubahan terjadi karena meningkatnya nilai tanah dan makin terbatasnya tanah.

4) Perubahan pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian. Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.

5) Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan menyebabkan kemunduran kemampuan ekonomi (pendapatan yang makin menurun). Dalam tulisan ini juga dijelaskan terjadinya polarisasi.

2.1.5 Kesejahteraan masyarakat

Menurut Sadiwak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsipun dapat dilakukan tanap menimbulkan biaya konsumennya.

Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat diukur dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima oleh rumahtangga tersebut. Mengingat data yang akurat sulit diperoleh, maka pendekatan yang sering digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga. Pengeluaran rata-rata per kapita per tahun adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga selama setahun untuk konsumsi semua anggota rumahtangga dibagi dengan banyaknya anggota rumahtangga. Determinan utama dari kesejahteraan penduduk adalah daya beli. Apabila daya beli menurun maka kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup menrun sehingga tingkat kesejahteran juga akan menurun (BPS, 1995).

Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar populasi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (1995), antara lain :

1. Kependudukan

2. Kesehatan dan gizi

3. Pendidikan

4. Ketenagakerjaan

5. Taraf dan pola konsumsi

6. Perumahan dan lingkungan

7. Sosial dan budaya

Berdasarkan hasil penelitian lembaga penelitian Smeru (2005) dengan menggunakan Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat dihasilkan indicator kesejahteraan sebagai berikut :

1. Konsumsi makanan dan indikator kesehatan

2. Akses terhadap lembaga keuangan

3. Sektor pekerjaan

4. Anggota keluarga yang bekerja

5. Tingkat pendidikan kepala keluarga dan pasangan

6. Jenis kelamin kepala keluarga

7. Status perkawinan

8. Kepemilikan binatang ternak

9. Kepemilikan aset

2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

i34052453

2.2.1 Hipotesis Penelitian

2.2.1.1 Hipotesis Umum

1. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara faktor eksternal dengan konversi lahan.

2. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara faktor internal dengan konversi lahan.

3. Diduga konversi lahan berpengaruh terhadap perubahan struktur agraria.

4. Diduga penguasaan lahan berpengaruh terhadap kesejahteraan petani.

2.2.1.2 Hipotesis Khusus

1. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara jumlah penduduk yang meningkat dengan keputusan mengkonversi lahan.

2. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara kebijakan pemerintah dengan keputusan mengkonversi lahan.

3. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara investasi swasta dengan keputusan mengkonversi lahan.

4. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara pembangunan jalan tol dengan keputusan mengkonversi lahan.

5. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara pengaruh tetangga dengan keputusan mengkonversi lahan.

6. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara pekerjaan dengan keputusan mengkonversi lahan.

7. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendapatan dengan keputusan mengkonversi lahan.

8. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan dengan keputusan mengkonversi lahan.

9. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara luas lahan yang dimiliki dengan keputusan mengkonversi lahan.

10. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara perubahan struktur agraria dengan kondisi tempat tinggal.

11. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara perubahan struktur agraria dengan pendapatan rumahtangga.

12. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara perubahan struktur agraria dengan kemampuan menyekolahkan anak.

13. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara perubahan struktur agraria dengan pola konsumsi rumahtangga.

14. Diduga terdapat hubungan yang nyata antara perubahan struktur agraria dengan kepemilikan aset.

2.11 Definisi Operasional

Pengukuran variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini akan dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah

1. Peningkatan jumlah penduduk adalah bertambahnya jumlah proporsi orang yang tinggal di daerah tertentu.

2. Kebijakan pemerintah daerah adalah ada atau tidaknya pengaruh dari pemerintah untuk merubah penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan industri.

Pengukuran :

1. ada

2. tidak ada

3. Investasi swasta adalah ada atau tidaknya pihak luar yang berkepentingan untuk membangun usaha di sektor industri

Pengukuran :

1. Ada : Ada investor menemui responden untuk negoisasai

2. Tidak ada : tidak ada investor yang menemui responden

4. Pembangunan jalan tol adalah dirubahnya suatu lahan pertanian menjadi kawasan yang diperuntukan untuk jalan bebas hambatan

5. Pekerjaan adalah mata pencaharian/ profesi yang dimiliki oleh seseorang.

6. Tingkat pendapatan adalah umlah uang yang dihasilkan kepala rumah tangga selama satu bulan bekerja setelah dikurangi biaya- biaya rumah tangga.

Pengukuran :

1. Tinggi : > Rp 2.000.000

2. Sedang : Rp 1000.000 – Rp 2.000.000

3. Rendah : < Rp 1000.000

7. Konversi lahan adalah perubahan penggunaan lahan di luar kegiatan pertanian baik sebagian maupun seluruhnya.

8. Perubahan struktur agraria adalah berubahnya pola hubungan berbagai pihak yang terkait terhadap sumber- sumber agraria yang mencakup pola hubungan kepemilikan lahan, penguasaan lahan, dan pengusahaan lahan.

Pengukuran :

1. sempit : < 0,25 hektar

2. sedang : 0,25-0,49 hektar

3. luas : ≥ 0,5 hektar

9. Tingkat pendidikan adalah jenjang formal terakhir yang pernah ditempuh oleh responden.

Pengukuran :

1. tidak sekolah

2. tamat SD/sederajat

3. tamat SMP/sederajat

4. tamat SMA/sederajat

12. Pengaruh tetangga adalah ada tidaknya tetangga yang mengkonversi lahan yang diukur dari banyaknya petani yang lahannya berada di sekitar responden yang telah mengalih fungsi lahannya.

Pengukuran :

1.rendah : < 5

2. tinggi : > 5

13. Tingkat kesejahteraan adalah kemampuan sebuah keluarga untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari rumah tangganya.

14. Kondisi tempat tinggal : adalah keadaan fisik rumah yang dihuni oleh sebuah keluarga.

Pengukuran :

1. Layak : Luas bangunan memadai untuk seluruh anggota keluarga, dan fisik bangunan permanen serta berlantai semen.

2. Tidak layak : Luas bangunan tidak memadai untuk seluruh anggota keluarga dan fisik bangunan tidak permanen serta berlantai tanah.

15. Kemampuan menyekolahkan anak : terpenuhinya kebutuhan pendidikan anak.

Pengukuran :

1. Tinggi : > SMA

2. Sedang: SMP

3. Rendah : tidak bersekolah/tidak tamat SD/SD

16. Pola konsumsi adalah pengeluaran suatu rumah tangga untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Pengukuran :

1. Tinggi : biaya untuk makan lebih banyak dari biaya untuk kebutuhan lainnya

2. Rendah : Biaya untuk makan lebih kecil dari biaya untuk kebutuhan lainnya.

17. Kepemilikan Aset : banyaknya jumlah barang berharga yang dimiliki sebuah keluarga berupa barang elektronik, rumah, kendaraan bermotor, dan tanah.

Pengukuran :

1. Tinggi : memiliki rumah, tanah, kendaraan bermotor, dan lebih dari lima barang elektronik (televisi, radio tape, setrika, telepon seluler, DVD/VCD player).

2. Sedang : memiliki rumah, kendaran bermotor, dan barang elektronik sejumlah lima jenis.

3. Rendah : memiliki rumah/tungal di rumah kontrakan/rumah sewaan dan memiliki kurang dari lima jenis barang elektronik.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dipilih oleh peneliti karena pendekatan ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagi realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian.

Strategi penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus berarti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti dengan menerapkan berbagai metode (Stake, 1994 : 236 dalam Sitorus, 1998 ). Pemilihan strategi tersebut terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu eksplanatif, penelitian ini bertujuan menjelaskan penyebab-penyebab gejala sosial serta keterkaitan sebab akibat dengan gejala sosial lainnya (Sitorus, 1998). Penelitian ini dilakukan guna menerangkan berbagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini mengenai proses konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri ysng meliputi faktor penyebab dan dampaknya pada pemilikan lahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.

Tipe studi kasus yang digunakan adalah tipe intrinsik studi kasus intrinsik adalah studi yang dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus (Stake, 1994 : 236 dalam Sitorus, 1998 ).

Sementara pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual secara mendetail yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan (Wahyuni dan Mulyono, 2006). Pendekatan tersebut digunakan untuk mengetahui dampak dari konversi lahan di bidang sosial ekonomi dan lingkungan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah pedesaan, tepatnya di Desa Tambak, Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Lokasi ini dipilih karena desa ini merupakan salah satu pusat industri di Propinsi Banten. Lahan yang dijadikan kawasan industri pada awalnya merupakan lahan pertanian yang cukup luas. Namun, masih terdapat lahan yang belum terkonversi menjadi tempat industri. Selain itu, kawasan ini dekat dengan jalan tol yang mempermudah akses pengangkutan barang hasil produksi dari Desa Tambak ke wilayah lain.

Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, dimulai dari bulan April-Mei 2009. Kurun waktu penelitian yang dimaksud mencakup waktu semenjak penelitian intensif berada di lokasi penelitian sehingga penjajakan tidak termasuk dalam kurun waktu tersebut. Penjajakan awal telah dilakukan pada bulan Maret 2009.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diterapkan oleh peneliti adalah metode triangulasi guna memperoleh kombinasi data yang akurat. Data kualitatif yang diperoleh berasal dari data primer, data sekunder, dan pengamatan langsung dilokasi penelitian. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam terhadap responden atau informan. Data deskriptif juga akan digunakan berupa kata-kata langsung atau tulisan dari responden dan informan. Pada awalnya pilihan terhadap informan dilakukan secara sengaja (purposif) yaitu dengan mendatangi aparatur pemerintah desa dan instansi terkait maupun tokoh masyarakat di lokasi penelitian dilakukan yang selanjutnya akan menggiring pada informan lain dan juga responden.

Data sekunder merupakan dokumen atau data yang diperoleh dari laporan studi, kantor desa, instansi pemerintahan yang terkait, serta dokumen lain yang relevan seperti data dari BPS, buku, jurnal, atau data dari internet yang memuat teori atau hasil penelitian yang terkait dengan proses perubahan penguasaan lahan pertanian menjadi industri.

Unit analisis data adalah rumahtangga petani pemilik, penggarap, dan penyewa yang lahannya telah terkonversi dan tidak terkonversi yang masih tinggal di Desa Tambak sebanyak 30 responden. Pemilihan responden dilakukan dengan simple random sampling. Sedangkan yang akan menjadi informan adalah aparatur desa, tokoh masyarakat, dan perwakilan instansi terkait.

3.4 Teknik Analisis Data

Data kuantitatif yang dikumpulkan akan diolah dengan mengunakan program komputer SPSS untuk menguji hubungan antar variabel yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat fakta yang terjadi dengan menggunakan analisis regresi. Data kualitatif digunakan untuk menggali lebih dalam mengenai data yang telah diperoleh secara kuantitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Hamid. 1991. Masalah Struktur Agraria dan Kedudukan Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Pujon Kidul (Wilayah Daerah Aliran Sungai Konto, Kabupaten Malang). Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.

Hidayat , Kliwon. 1984. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungan Kerja Agraris di Desa Jatisari, Lumjang, Jawa Timur. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.

Irawan, Bambang. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 23 No. 1, Juli 2005: 1-18.

Kustiawan, Iwan. 1997. Permasalahan Konversi Lahan pertanian dan Implikasinya terhadap Penataan Ruang Wilayah Studi Kasus : Wilayah Pantai Utara Jawa. Jurnal PWK Vol.8. No 1/Januari 1997.

Mahodo, Riptono Sri. 1991. Struktur Pemilikan Penguasaan Lahan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Lahan di Kabupaten Tangerang. Tesis. Program Pasca Sajana. IPB.

Martua Sihaloho. 2004. Konversi Lahan pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis. .Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Nasoetion, Lutfi Ibrahim. 2006. Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan Implementasinya. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional Disampaikan pada Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian.

Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang pertanian 25(4) 2006.

Purtomo Somaji, Rafael. 1994. Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya terhadap Masyarakat petani di Jawa Timur. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.

Sajogjo, Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta : PT Esata Dinamika.

Sitorus, MT. F. 2002: Lingkup Agraria dalam Menuju keadilan Agraria : 70 Tahun Gunawan Wiradi, Penyunting Endang, Suhendar et al. Yayasan AKATIGA, Bandung.

Sitorus, MT. F. dan Gunawan Wiradi. 1999. Sosiologi Agraria : Kumpulan Tulisan Terpilih. Bogor : Labolatorium Sosio, antropologi, dan Kependudukan Faperta IPB.

Sitorus, M. T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor

Syahyuti..Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggir Hutan : Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.

Utomo, Muhajir, Eddy Rifai, Abdumuthalib Thahar. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung. Badar Lampung.

Wahyuni, Ekawati sri dan Pudji Mulyono. 2006. Modul Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial. Diterbitkan di Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB.

Wiradi, G 1984: Pola Penguasaan tanah dan reforma agraria dalam Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, penyunting Sediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi , PT Gramedia, Jakarta.

Lampiran 1. Kuesioner

Pengaruh Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan terhadap Kesejahteraan Masyarakat

(Studi Kasus Desa Tambak, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Propinsi Banten)

Responden yang Terhormat,

Saya adalah mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Saya sedang melakukan penelitian mengenai Pengaruh Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan terhadap Kesejahteraan Masyarakat

( . Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1).

Saya ucapkan banyak terima kasih atas kesediaan dan waktu Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini.

Hormat saya

Egi Massardy

I 34054251

Text Box: Responden yang Terhormat, Saya adalah mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Saya sedang melakukan penelitian mengenai Pengaruh Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan terhadap Kesejahteraan Masyarakat ( . Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1).  Saya ucapkan banyak terima kasih atas kesediaan dan waktu Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini.  											Hormat saya	                                                            Egi Massardy	 					    I 34054251

Kuesioner

Petunjuk :

Isilah jawaban pada titik-titik (….) serta berilah tanda (√) pada setiap () yang sesuai di bawah ini

IDENTITAS RESPONDEN

Nama : ………………………………

Umur :……………………………….

Jenis kelamin :……………………………….

Tempat tinggal :………………………………..

Faktor- faktor yang mendorong pengambilan keputusan individu untuk mengkonversi lahan

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN

1. Pendidikan terakhir :

( ) tidak sekolah

( ) tidak tamat SD

( ) tamat SD/sederajat

( ) tamat SMP/sederajat

( ) tamat SMA/Sederajat

2. Pekerjaan

( ) Petani

( ) PNS

( ) Buruh pabrik

( ) Wiraswasta

( ) Jasa tansportasi

( ) TNI/ Polri

( ) lainnya………

B EKONOMI RESPONDEN

Jumlah tanggungan

3 Berapa jumlah anggota keluarga anda (termasuk anda)?

…….. orang

4 Berapa jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan anda (termasuk anda)?

……. orang

5 Apakah ada anak (usia sekolah) anda yang masih bersekolah?

( ) ya ( ) tidak Jika tidak, apa alasannya : ……………

6 Berapa jumlah anak anda yang masih bersekolah?

………….orang

Tingkat pendapatan rumah tangga

7.Apakah ada dari anggota keluarga anda (tidak termasuk anda) yang sudah bekerja?

( ) ya ( ) Tidak (Jika tidak langsung ke nomor 11)

8. Berapa jumlah anggota keluarga anda yang sudah bekerja?

……… orang

9.Apakah anggota keluarga anda yang sudah bekerja tersebut membantu anda dalam emmenuhi kebuthan keluarga?

( ) ya ( ) tidak (langsung ke nomor 11)

10. Berapa proporsi bantuan yang dilakukan oleh anggota keluarga anda yang sudah bekerja tersebut?

………….% kebutuhan keluarga

11. Berapa total pendapatan rumah tangga anda?

Rp………………../bulan

12. Apakah dari pendapatan tersebut dapat mencukupi kebutuhan keluarga anda (terutama dalam hal konsumsi)?

( ) ya ( ) tidak

Jelaskan………………………………………………………………….….

Kepemilikan Lahan

13. Apakah status lahan yang anda miliki?

( ) sewa ( ) sakap ( ) milik ( ) gadai

14. Berapa luas lahan yang anda miliki?

……….ha

15. Apakah anda hanya bergantung pada lahan tersebut untuk sumber penghasilan?

( ) ya (langsung ke no. 18) ( ) tidak

16. Berapa persentase pendapatan pertanian yang berasal dari lahan tersebut terhadap total pendapatan rumah tangga?

………..% pendapatan rumah tangga

17. Apakah ada bagian dari lahan anda yang anda konversi?

( ) ya ( ) tidak (langsung ke nomor 20)

18. Berapa persentase laha yang anda konversi dari lahan yang anda miliki?

………..% lahan

19. Berapa total pendapatan rumah tangga anda sebelum mengkonversi lahan?

Rp.,……………./ bulan

C. FAKTOR EKSTERNAL

20. Apakah ada dari tetangga yang memiliki lahan pertanian di sekitar lahan anda yang mengkonversi lahan pertaniannya menjadi pabrik?

( ) ya ( ) tidak

21. Berapa banyak?

……….orang

22. Apakah ada pengusaha di bidang non pertanian yang mempengaruhi anda agar mengkonversi lahan?

( ) ya ( ) tidak ( langsung ke nomor 24)

23. Berapa kali pengusaha tersebut datang menemui anda untuk kepentingan tersebut?

…..kali

24. Apakah kebijakan pemerintah daerah mempengaruhi terjadinya konversi lahan pertanian di sini?

( ) ya ( ) tidak ( langsung ke nomor 26)

25. Apakah bentuk kebijakan pemerintah daerah tersebut?

………………………………………………………………….

26. Apakah Anda mengetahui pembangunan jalan tol Jakarta/ merak?

( ) ya () tidak

27. Apakah lahan anda dibebaskan untuk pembangunan jalan tol?

( ) ya ( ) tidak

28. Jika ya, apakah anda mendapatkan anti rugi dari pembebasan tanah tersebut ?

( ) ya ( ) tidak

29. Jika ya, berapa jumlah uang yang anda terima sebagai ganti rugi?

Rp,………

D. KESEJAHTERAAN KELUARGA RESPONDEN

No.

Indikator Kesejahteraan

Keterangan

26

Pengeluaran konsumsi per hari

a. < Rp 10.000 b. Rp 10.000-20.000 c. > Rp 20.000

27

Dinding rumah

a. tembok b. bambu/triplek

28

Lantai rumah

a. tanah b. semen/keramik

29

Perabotan (elektronik)

a.televisi

b. radio tape

c.kulkas

d. DVD/VCD player

e.Kipas angin

f. AC

g. Computer

h. Telepon

i. Telepon seluler

j. Parabola

k. Rice cooker

l. Setrika

30

Kendaraan

a.tidak punya b. motor c. mobil

31

Pendidikan anak

Anak pertamaà a. SD b. SMP c. SMA d. S1

Anak keduaà a. SD b. SMP c. SMA d. S1

Lampiran 2. Panduan Pertanyaan

a) Panduan Pertanyaan (responden/petani yang mengkonversi lahan)

1. Sejak kapan anda menjadi petani?

2. Mengapa anda menjadi petani?

3. Tanaman apa yang paling menjanjikan?

4. Apa orientasi anda bertani? Jelaskan?

5. Apakah dengan bertani, anda bisa memenuhi kebutuhan keluarga anda terutama dalam hal konsumsi?

6. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di desa ini? Apakah pemerintah memberi bantuan saprotan dll? Jelaskan?

7. Bagaiman cara anda mendapatkan lahan tersebut?

8. Seberapa penting lahan yang anda miliki bagi anda?

9. Menurut anda, apa fungsi utama lahan bagi anda?

10. Sejak kapan anda membuka usaha tambang pasir dan batu?

11. Mengapa demikian?

12. Mengapa anda mengkonversi lahan anda? Jika mungkin, ceritakan latar belakang/proses bagaimana anda mengkonversikan lahan anda!

13. Apakah ada yang mendorong anda untuk mengkonversi lahan anda? Jika ya, bagaimana prosesnya?

14. Setelah anda mengkonversi lahan, pernahkah pemerintah daerah mengingatkan untuk kembali menanami lahan anda?

15. Menurut anda, apakah ada perbedaan sebelum and mengkonversikan lahan anda dengan sesudah mengkonversi dilihat dari aspek kesejahteraan. Jelaskan!

16. Menurut anda, apa dampak dari perubahan lahan pertanian menjadi kawasan industri bagi anda?

b. panduan pertanyaan (responden/petani yang tidak mengkonversi lahan)

1. Sejak kapan anda menjadi petani?

2. Mengapa anda menjadi petani?

3. Tanaman apa yang paling menjanjikan?

4. Apa orientasi anda bertani? Jelaskan

5. Apakah dengan bertani, anda bisa memenuhi kebutuhan keluarga anda terutama dalam hal konsumsi?

6. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani msalah pertanian di desa ini? Apakah pernah memberi bantuan saprotan dll? Jelaskan.

7. Bagaimana cara anda mendapatkan lahan tersebut?

8. Seberapa penting alahan yang anda miliki bagi anda?

9. Menurut anda, apa fungsi utama lahan bagi anda?

10. Mengapa anda tidak megnkonversi lahan anda seperti yang dilakukan oleh tetangga-tetangga anda?

c. panduan pertanyaan (aparat desa/tokoh masyarakat/warga setempat)

1. Apa rata-rata jenis mata pencaharian utama masyarakat desa ini?

2. Kira-kira berapa jumlah petani di desa ini?

3. Siapa saja petani yang memiliki lahan sendiri?

4. Siapa saja petani yang kini mengubah lahannya menjadi tambang pasir dan batu?

5. Sejak kapan fenomena konversi lahan mulai banyak terjadi di desa ini?

6. Menurut anda, mengapa petqani disini banyak yang mengkonversikan lahannya? Kira-kira, apa faktor utama mendorong mereka mengkonvesi lahan?

7. Apakah ada pengusaha atau perusahaan yang bergerak di bidang non pertanian yang membeli lahan-lahan para petani?

8. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menangani masalah pertanian di desa ini?

9. Bagaimana reaksi pemerintah daerah terhadap fenomena konversi lahan yang marak terjadi di desa ini?

10. Menurut anda, bagaimana tingkat kesejahteraan petani yang telah mengkonversi lahan?

11. Menurut anda, apa fungsi utama lahan bagi masyarakat disini?


Lampiran 3. Rencana Jadwal Penelitian

No

Kegiatan

Maret

April

Mei

Juni

Juli

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1.

Pengumuman Dosen Pembimbing Skripsi

2.

Penulisan Proposal dan Kolokium

1. Penyusunan Draft dan Revisi

2. Konsultasi Proposal

3. Observasi Lapang

4. Kolokium dan Perbaikan

3.

Studi Lapang

1. Pengumpulan Data

2. Analisis Data

4.

Penulisan Skripsi

1. Penyusunan Draft dan Revisi

2. Konsultasi Skripsi

5.

Ujian Skripsi

1. Ujian

2. Perbaikan Skripsi


[1] Di kutip dari pengantar penerbit pada buku Sosiologi Agraria oleh Sediono M.P. Tjondronegoro, penyunting M.T. Felix Sitorus & Gunawan Wiradi, AKATIGA, Bandung 1999

Posted in agraria, Jawa Barat, kesejahteraan, konversi lahan, serang | Dengan kaitkata: , , , | 2 Comments »

Keterkaitan Antara Program Reforma Agraria Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani (Kasus: Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Posted by kolokium kpm ipb pada 11 April 2009

Nama Pemrasaran/NRP : Andi Alfurqon/I34052087

Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pembahas/NRP : Meita Nur Ramadyanti/A14204046

Dosen Pembimbing/NIP : Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA/131 610 288

Judul Rencana Penelitian : Keterkaitan Antara Program Reforma Agraria Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani (Kasus: Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Ruang/Tanggal/Waktu : KPM 414/ 14 April 2009/ 14.30-15.20 WIB


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Indonesia kerap kali dihadapi oleh berbagai persoalan yang terkait dengan ketidak adilan dalam mendapatkan hak atas penguasaan dan pemanfaatan suber-sumber agraria. Hal ini disebabkan oleh kebijakan-kebijakan politik yang tidak memberikan kelayakan akses bagi masyarakat untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber agraria.

Dari tahun-ketahun penguasaan tanah oleh petani semakin menurun, jumlah petani gurem baik pemilik maupun penyewa semakin meningkat, begitu juga halnya dengan petani penyakap yang kesemuaannya dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Di sisi lain konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh segelintir orang saja begitu mencuat, karena didukung oleh berbagai undang-undang sektoral baik pada bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dan sebagainya. Di sisi lain, konflik agraria merupakan kenyataan yang kerapkali terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Penataan kembali arah kebijakan politik agraria disadari bersama sebagai hal yang sangat esensial untuk mewujudkan suatu keadilan sosial dan pemerataan hak bagi masyarakat. Salah satu upaya perbaikan tersebut adalah dengan mencuatkan kembali pentingnya pelaksanaan Reforma Agraria sebagai salah satu agenda pembangunan bangsa.

Dalam program pemerintahan SBY-JK agenda reforma agraria merupakan bagian dari program Perbaikan dan Penciptaan Kesempatan Kerja dan Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan[1]. Presiden RI DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono telah melakuakn pidato politik terkait dengan maslah agraria di Indonesia pada awal tahun 2007, salah satu penggalan pidato tersebut adalah: “Program Reforma Agraria…secara bertahap…akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip tanah untuk keadialan dan kesejahteraan rakyat…[yang] saya anggap mutlak untuk dilakukan”.

Berbagai upaya perbaikan dalam bidang agraria memiliki suatu muara, yaitu tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Saat ini Program Reforma Agraria dan program-program penunjangnya telah/sedang diimplementasikan di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya adalah di Desa Pamegarsari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Secara rasional program Reforma Agraria dan Program Penunjanganya akan memberikan pengaruh terhadap laju tingkat kesejahteraan masyarakat (sasaran/subyek) yang mendapatkannya, dalam hal ini sasaran/subyek yang di maksud adalah petani di Kecamatan Jasinga. Akan tetapi, perlu dikaji lebih lanjut mengenai fakta implementasi program Reforma Agraria tersebut, bagiamanakah fakta implementasi program Reforma Agraria tersebut di lapangan?. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian secara lebih mendalam mengenai keterkaitan antara program Reforma Agraria dengan tingkat kesejahteraan masyarakat (petani) yang mendapatkannnya, apakah tingkat kesejahteraan mereka meningkat setelah dalam kurun waktu tertentu mendapatkan/ikut dalam program Reforma Agraria?

1.2 Perumusan Masalah

  1. Bagaimanakah fakta implementasi program Reforma Agraria di lapangan?
  2. Bagaimanakah keterkaitan antara program Reforma Agraria terhadap tingkat kesejahteraan petani?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan fakta implementasi program Reforma Agraria di lapangan.

2. Menjelaskan keterkaitan antara program Reforma Agraria terhadap tingkat kesejahteraan Petani.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peneliti dalam menerapkan berbagai konsep dan teori agraria, khususnya yang terkait dengan reforma agraria. Selain untuk peneliti, diharapakan hasil penlitian ini juga dapat bergunan bagi berbagai kalangan diantaranya:

1. Akademisi. Hasil penelitian ini diharapakan dapat dijadikan sumber data, informasi, dan literatur bagi kegiatan-kegiatan penelitian maupun penulisan ilmiah selanjutnya yang terkait dengan konsep-konsep reforma agraria.

2. Pemerintah. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sarana evaluasi program-program reforma agraria yang telah atau sedang dilaksanakan oleh pemerintah.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Reforma Agraria dan Tingkat Kesejahteraan Petani

Reforma Agraria merupakan agenda bangsa yang diharapakan dapat memberikan titik terang bagi terwujudnya keadilan sosial dan tercapainya kesejahteraan masyarakat. Dengan berbagai program pelengkapnya, Reforma Agraria diharapakan dapat membantu masyarakat miskin (sebagian besar petani) beranjak dari keterpurukan ekonomi menuju kehidupan yang layak dan mandiri.

Terdapat berbagai konsep yang menjelaskan makna dari kata agraria dan reforma agraria itu sendiri, hal ini perlu dipahami sebagi sebuah landasan teoritis dari penelitian yang akan dilakukan.

2.1.1 Konsep Agraria (Obyek dan Subyek Agraria Serta Hubungan Teknis dan Sosio-Agraria)

Seperti telah kita ketahui bersama bahwa konsep agraria tidak hanya mencakup tanah atau pertanian saja, tetapi memiliki cakupan yang lebih luas dari itu. Menurut Sitorus (2002) konsep agraria juga merujuk pada berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber graria.

Secara kategoris, subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector) (Sitorus, 2002). Ketiga subyek agraria tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Dalam hubungan-hubungan itu akan menimbulkan kepentingan-kepentingan sosial ekonomi masing-masing subjek berkenaan dengan penguasaan/pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebut. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosial agraria yang berpangkal pada akses (penguasaan, pemilikan, penggunaan) terhadap sumber agraria.

i34052087-a1

2.1.2 Reforma Agraria

Menurut Badan Petanahan Nasional RI (2007) makna Reforma Agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apabila makna ini di dekomposisikan, terdapat lima komponen mendasar di dalamnya, yaitu:

1. Resturukturisasi penguasaan asset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity),

2. Sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasisi keagraraiaan (welfare),

3. Penggunaan atau pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency),

4. Keberlanjutan (sustainability), dan

5. Penyelesaian sengketa tanah (harmony).

Berdasarkan makna Reforma Agraria di atas, dirumuskan tujuan Reforma Agraria sebagai berikut:

1. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil,

2. Mengurangi kemiskinan,

3. Menciptakn lapangan kerja,

4. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah,

5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan,

6. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, dan

7. Meningkatkan ketahanan pangan.

Sementara itu Soetarto dan Shohibuddin (2006) mengemukakan bahwa inti dari reforma agraria adalah upaya politik sistematis untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dan yang diikuti pula oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur sosial lainnya.

Kosep Reforma Agraria tidal lepas dari apa yang disebut dengan konsep Lanreform. Mocodompis (2006) mengatakan bahwa landreform merupakan bagian dari agrarianreform dan agrarianreform itu sendiri tidak tidak bisa dijalankan tanpa adanya landreform. Syahyuti (2004) mengutarakan bahwa dalam konteks reforma agraria, peningkatan produksi tidak akan mampu dicapai secara optimal apabila tidak didahului oleh landreform. Sementara, keadilan juga tidak mungkin dapat dicapai tanpa landreform. Jadi, landreform tetaplah menjadi langkah dasar yang menjadi basis pembangunan pertanian dan pedesaan.

Adapun tujuan dari landreform menurut Michael Lipton dalam Mocodompis (2006) adalah:

  1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara para pemilik tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat merupakan usaha untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.

2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan lahan. Dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian tersebut, kemudian secara langasung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani.

Apabila dicermati, keseluruhan tujuan Reforma Agraria di atas bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa.

2.1.3 Landasan Hukum Reforma Agraria

Reforma Agraria telah disinggung dalam PENJELASAN UMUM Undang-undang Pokok Agraria pada romawi II angka (7), yang rumusan lengkapnya sebagai berikut: “Dalam pasal 10 ayat (1) dan (2) dirumuskan suatu asas yang pada dewasa ini sedang menjadi dasar daripada perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia, yaitu di negara-negara yang telah atau sedang menyelenggarakan apa yang disebut ”Landreform” atau “Agrarianreform”…”

Dan, selain banyak peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum, ada beberapa dasar yang menjadi landasan pelaksanaan Reforma Agraria, antar lain: a. Landasan Idil, yaitu Pancasila; b. Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945 dan Perubahannya; c. Landasan Politis, terdiri dari 1. TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam; 2. Keputusan MPR-RI Nomor 5 Tahun 2003 tentang Penugasan Kepada Pimpinan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003; dan 3. Pidato Politik Awal Tahun Presiden RI tanggal 31 Januari 2007; d. Landasan Hukum, diantaranya 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghpusan Tanah-tanah Partikelir (Lembaran Negara RI Tahun 1958 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negra RI Nomor 1517); 2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembar Negara RI Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4411); 3. Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4725), dan lain sebagainya.

2.1.4 Obyek Reforam Agraria

Tanah merupakan komponen dasar dalam Reforma Agraria, Berkenaan dengan penetapan obyek Reforma Agraria, maka pada dasarnya tanah yang ditetapkan sebagai obyek Reforma Agraria adalah tanah-tanah Negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagi obyek Reforma Agraria. Sesuai dengan tahapan perencanaan luas tanah yang dibutuhkan untuk menunjang Reforma Agraria, maka luas kebutuhan tanah obyek Reforma Agraria dalam kurun waktu 2007-2014 adalah seluas 9,25 juta Ha.

2.1.5 Sasaran/subyek Reforma Agraria

Pada dasarnya subyek Reforma Agraria adalah penduduk miskin di perdesaan baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan (BPN RI, 2007). Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain (perdesaan dan perkotaan).

2.1.6 Pengembangan Kapasitas Subyek Reforma Agraria

Pengembangan kapasitas masyarakat (capacity building) merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berbasis kepada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sumberdaya alam, sumber daya ekonomi dan sumberdaya manusia sehingga menjadi suatu local capacity (Maskun, seperti dikutip oleh Aly, 2005). Program Reforma Agraria yang dicanangkan pemerintah merupakan suatu program yang terdiri dari kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas subyek Reforma Agraria (petani miskin).

Pengembangan kapasitas petani miskin merupakan suatu proses penguatan petani agar mereka dapat mengenali masalah-masalah yang dihadapinya dan secara mandiri dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Ismawan dalam Aly (2005) menyatakan kemandirian adalah suatu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi mencapai suatu tujuan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan kerja sama yang saling menguntungkan.

Dari beberapa penjelasan tersebut, pengembangan kapasitas dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka, sehinga memperoleh hak yang sama tehadap sumberdaya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Melalui pengembangan kapasitas, masyarakat akan lebih berdaya dan mandiri dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.

2.2 Taraf Hidup

Kata tarafdalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) berarti mutu atau kualitas, jadi taraf hidup dapat diartikan sebagai suatu mutu hidup atau kualitas hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat

2.3 Tingkat Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain.

Soeharto (2006) mengartikan kesejahteraan sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Midgley, et al (2000: xi) seperti dikutip oleh Soeharto (2006) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.

Menurut Sadiwak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsipun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya konsumennya.

Menurut Agusniar (2006) masyarakat yang sejahtera mengandung arti bahwa setiap angota msyarakat dapat memperoleh kebahagiaan, tetapi kesejahteran salah satu individu belum menjamin adanya kesejahteraan seluruh masyarakat. Usaha menyejahterakan masyarakat berarti usaha untuk menjadikan semua anggota masyarakat dapat hidup bahagia (Su’ud dalam Agusniar, 2006). Menurut Su’ud sepeti dikutip Agusniar (2006) trdapat dua hal penting mengenai kesejahteraan, yaitu: (1) kesejahteraan menuntut adanya kekayaan yang meningkat yaitu mengukur kesejahteraan dengan keluaran fisik dan (2) kesejahteran tercapai bila ada distribusi pendapatan yang dirasa adil oleh masyarakat

2.4 Kerangka Pemikiran Konseptual

i34052087-b

Berbagai permasalahan yang timbul dalam bidang agraria di Indonesia merupakan hambatan yang serius bagi proses pembangunan yang sedang berlangsung. Berbagai komponen bangsa baik masyarakat, akademisi, maupun LSM telah berupaya memberikan masukan kepada pememerintah untuk segera melakukan perbaikan dalam bidang agraria baik penataan konstitusi maupun upaya perbaikan dalam bentuk real kepada masyarakat.

Beberapa tahun terakhir pemerintahan SBY-JK telah mengimplementasikan program Reforma Agraria di beberapa daerah di Indonesia. Program utama dari Reforma Agraria ini adalah dengan mendistribusikan tanah kepada rakyat termiskin untuk dikelola guna memenuhi kebutuhan hidup. Selain pendistribusian tanah, ada juga program-program lainya yang bersifat pendukung antara lain dengan pemberian kredit lunak, pelatihan kelompok tani, bantuan teknologi pertanian, dan lain sebagainya.

Program Reforma Agraria ini diperuntukan bagi masyarakat miskin, terutama petani dengan berbagai kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya bantuan melalui program Reforma Agraria diharapakan sasaran program dapat mengalami peningkatan kapasitas diri berupa kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan atau penyuluhan, memiliki akses terhadap sumber agraria berupa tanah garapan, mampu memiliki modal produksi, memiliki dan memahami penggunaan teknologi pertanian, dan sebagianya.

Dengan meningkatnya kapasitas petani sebagai komponen penting dalam produksi pertanian, diharapakan sumberdaya yang dimiliki dapat memberikan pengaruh positif pada peningkatan hasil produksi. Dengan berbagai peningkatan ini petani akan mengalami peningkatan ekonomi sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya program Reforma Agraria mungkin memiliki hambatan baik hambatan eksternal maupun internal dalam hal ini adalah hambatan yang bersal dari pihak pemerintah maupaun dari sasaran/subyek, atau bisa jadi hambatan-hambatan secara geografis. Sehingga setelah mendapatkan bantuan-bantuan dari pemerintah, ternyata kondisi perekonomian petani tidak mengalami peningkatan yang signifikan.

2.5 Hipotesis Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa hipotesis pengarah yang terdiri dari hipotesis umum dan beberapa hipotesis khusus sebagai berikut:

a. Hipotesis Umum

Implementasi/pelaksanaan program Reforma Agraria memberikan pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan subyek/sasaran.

b. Hipotesis Khusus

1) Implementasi/pelaksanaan Reforma Agraria secara tepat akan meningkatkan kapasitas subyek/sasaran.

2) Subyek/sasaran Reforma Agraria yang mengalami peningkatan kapasitas diri secara signifikan akan mampu meningkatkan taraf hidupnya.

3) Semakin tinggi taraf hidup petani, semakin tinggi juga tingkat kesejahteraan hidupnya.

2.6 Definisi Konseptual

Beberapa definisi konseptual di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Implementasi kegiatan Reforma Agraria adalah pelaksanaan serangkai kegiatan reforma agraria yang ditujukan kepada subyek/sasaran yang telah memenuhi kriteria guna terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

b. Subyek Reforma Agraria adalah penduduk miskin yang berada di daerah perdesaan baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain (perdesaan dan perkotaan).

c. Pengembangan kapasitas subyek adalah upaya meningkatkan kemampuan subyek Reforma Agraria untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka, sehinga memperoleh hak yang sama tehadap sumberdaya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka.

d. Taraf hidup adalah kualitas hidup yang dimiliki oleh petani.

e. Kesejahteraan petani adalah suatu kondisi kehidupan dimana kebutuhan hidup baik moril maupun kebutuhan materil.

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, pendekatan kualitatif dipilih oleh peneliti karena peneliti akan mengkaji fenomena sosial yang sedang berlangsung di lapangan melalui studi kasus. Pendekatan ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagi realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian.

Melalui pendekatan kualitatif , peneliti berusaha untuk menggambarkan fakta pelaksanaan program Reforma Agraria di Indonesia, khususnya di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Selain itu, peneliti juga akan mengidntifikasi bentuk kegiatan Reforma Agraria yang diberikan kepada sasaran (petani), mengidentifikasi hambatan-hambatan apa saja yang menghalangi upaya peningkatan kapasitas petani, serta menganalisa pengaruh kegitan reforma agraria terhadap peningkatan taraf hidup dan tingkat kesejahteraan petani.

Strategi penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus berarti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti dengan menerapkan berbagai metode (Stake, 1994 : 236 dalam Sitorus, 1998 ). Pemilihan strategi tersebut terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu eksplanatif, penelitian ini bertujuan menjelaskan penyebab-penyebab gejala sosial serta keterkaitan sebab akibat dengan gejala sosial lainnya (Sitorus, 1998). Penelitian ini dilakukan guna menerangkan berbagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini mengenai implementasi program Reforma Agraria di Kecamatan Jasinga, yang meliputi identifikasi fakta pelaksanaan program dan dampaknya terhadap taraf hidup dan tingkat kesejahteraan petani.

Tipe studi kasus yang digunakan adalah tipe intrinsik. Studi kasus intrinsik adalah studi yang dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus (Stake, 1994 : 236 dalam Sitorus, 1998 ).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di lokasi pelaksanaan program Reforma Agraria, dalam hal ini lokasi yang dipilih adalah di Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Adapun alasan peneliti memilih Desa Pamagersari dari sepuluh desa yang dijadikan lokasi pelaksanaan program Reforma Agraria di Kecamatan Jasinga adalah, karena desa ini memiliki jumlah sasaran/subyek Reforma Agraria yang paling banyak di antara desa-desa lainnya. Sasaran/subyek Reforma Agraria di desa Pamagersari berjumlah 864 orang.[2] Dengan jumlah sasaran/subyek Reforma Agraria di desa ini, diharapkan peneliti akan lebih mudah menentukan subyek penelitian.

Selain itu, waktu penguasaan lahan yang bervariasi di antara para sasaran/subyek Reforma Agraria juga merupakan salah satu alasan mengapa peneliti memilih lokasi di Kecamatan Jasinga. Menurut Suryo (2008) rata-rata sasaran/subyek Reforma Agraria di Kecamatan Jasinga telah menguasai lahan kurang dari lima tahun, berarti memang sebagian besar sasaran/subyek Reforma Agraria telah menguasai lahan selama kurang dari lima tahun, tapi tentunya ada juga yang telah menguasai lahan selama lima tahun atau bahkan mungkin ada juga yang lebih dari lima tahun. Menurut peneliti hal ini merupakan sesuatu yang menarik, karena penelitian ini terkait dengan tingkat kesejahteraan sasaran/subyek Reforma Agraria yang telah mendapatkan bantuan (lahan, modal, teknologi, dan sebagainya) dalam kurun waktu tertentu.

Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama dua bulan, dimulai dari pertengahan Bulan Mei hingga Juni 2009. Penelitian yang dimaksud mencakup waktu sejak peneliti intensif di daerah penelitian, pengumpulan dan pengolahan data, hingga pembuatan draft skripsi.

3.3 Penentuan Subyek Penelitian

Dalam penelitian ini akan ditentukan subyek penelitian secara purposive yaitu memilih orang-orang yang dianggap mengetahui informasi mengenai pelaksanaan program Reforma Agraria di Kecamatan Jasinga, terutama pemerintah (Badan Pertanahan Nasional) sebagai pihak pelaksana dan masyarakat yang termasuk dalam subyek penerima program Reforma Agraria di Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga. Selain itu, peneliti juga akan mencari informasi kepada pihak-pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan program reforma Agraria seperti aparat desa, tokoh masyarakat, kelompok tani, petugas penyuluh pertanian, dan lain sebagainya.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, Pengumpulan data-data ini dilakukan dengan metode triangulasi data (kombinasi dari berbagai sumber data). Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan pengamatan (observasi).

Teknik pengambilan data dengan wawancara mendalam dilakukan melalui interaksi dua arah dengan prinsip kesetaraan antara peneliti dengan subyek dalam suasana yang akrab dan informal. Wawancara mendalam dilakukan dalam rangka untuk memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya, pengalamannya, ataupun situasi sosial yang dihadapinya yang diungkapkan menggunakan bahasanya sendiri (Taylor dan Bogdan dalam Sitorus ,1998).

Sementara itu, observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengamati langsung aktivitas tineliti pada situasi dan kondisi yang relevan, dengan tanpa menutupi identitas diri peneliti akan mencoba berperanserta dalam beberapa kegiatan tineliti tentunya yang terkait dengan konteks penelitian. Menurut Vredenbregt dalam Sitorus (1998) jenis pengamatan ini disebut juga sebagai pengamtan berperanserta-terbatas.

Untuk membantu peneliti dalam mengumpulkan data di lapangan, maka peneliti menyusun panduan pertanyaan yang berisikan tentang profil dan sejarah lokasi, latar belakang penentuan loksi Reforma Agraria, partisipasi masyarakat terhadap program tersebut, pengetahuan tentang prosedur menjadi peserta program Reforma Agraria yang ditetapkan oleh pemerintah, persepsi masyarakat mengenai kegiatan-kegiatan Reforma Agraria (penyuluhan atau pelatihan), pengaruh yang mereka rasakan baik secara moral maupun materil, konsep masyarakat sejahtera menurut pandangan individu maupun kelompok, dan hambatan/kendala yang mereka rasakan dalam mengikuti program Reforma Agraria.

Data sekunder diperoleh melalui analisis dokumen-dokumen atau yang disebut dengan studi dokumentasi, yaitu mempelajari dan menelaah dokumen/catatan tertulis/arsip yang relevan dengan masalah kajian. Analisis dokumen-dokumen terkait dengan konsep-konsep Reforma Agraria, prosedur dan ketentuan pelaksanaan, gambaran umum lokasi pelaksanaan program Reforma Agraria, serta tentang masyarakat di sekitar kawasan tersebut, terutama petani peserta program Reforma Agraria. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi jumlah penduduk, data kepemilikan lahan pertanian (non-Reforma Agraria dan yang termasuk lahan Reforma Agraria), mata pencaharian penduduk, jumlah keluarga miskin, potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, dan data kelompok tani. Sumber data sekunder didapat dari laporan dinas sektoral yang relevan, dokumen-dokumen hasil penelitian dan pengkajian yang ada sebelumnya tentang program sejenis atau dokumen lainnya.

3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Teknik analisis data kualitatif dilakukan melalui proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman dalam Sitorus 1998). Dalam penelitian ini data-data yang diperoleh akan diringkas, dibuat kode, dibuat gugus-gugus, dalam rangka memilah, memilih dan mengarahkan data yang diperlukan. Proses ini berlangsung secara terus-menerus selama penelitian berlangsung.

Setelah proses reduksi, data-data tersebut selanjutnya disusun dan disajikan dalam bentuk matriks, grafik maupun bagan, sehingga tersusun, terpadu, dan mudah disimpulkan. Penyimpulan dilakukan secara terus-menerus dengan mempertimbangkan data yang diperoleh selama proses analisis.

3.6 Organisasi Penulisan

Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai gambaran umum wilayah yang mencakup karakteristik wilayah, mata pencaharian penduduk, dan jumlah penduduk. Pada pokok bahasan selanjutnya akan dikaji mengenai fakta-fakta mengenai pelaksanaan program Reforma Agraria. Selanjutnya pada bagian akhir akan dikaji mengenai hubungan antara pelaksanaan program Reforma Agraria terhadap tingkat kesejahteraan penduduk.


DAFTAR PUSTAKA

Agusniar, Ami. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat (Kasus Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam). Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.

Aly, Rahmad Iqbal Nurkhalis B. 2005. Pengembangan Kapasitas Petani Miskin Melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Komunitas (Kasus Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi di Desa Langaleso, Kecamatan Donggala, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah). Tesis. Program Pasca Sarjana IPB.

BPN. 2007. Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional RI.

Mocodompis, Harison. 2006. Reforma Agraria Dan Upaya Mengatasi Kemiskinan di Indonesia.http://www.mailarchive.com/proletar@yahoogroups.com/msg28252.html. (diakses pada tanggal 22 Desember 2007).

Satiawan, Usep. 2009. Lahan Abadi Pertanian dan Reforma Agraria. http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=237&Itemid=1. (diakses pada tanggal 3 April 2009).

Sitorus, MT Felix. 2002. Lingkup Agraria dalam Endang Suhendar et al (ed.). Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Akatiga.

Sitorus, M. T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial.

Soetarto, Endriatmo dan Shohibuddin. 2006. Tantangan Pelaksanaan Reforma Agraria dan Peran Lembaga Pendidikan Kedinasan Keagrariaan. http://nasih.staff.ugm.ac.id/a/tan/20060927%20tan.htm. (diakses pada tanggal 22 Desember 2007).

Soetarto, Endriatmo dan shohibuddin. t.t. Reforma Agraria sebagai Basis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Agenda untuk Pemerintah 2004-2009.

Suharto, Edi. 2006. Peta Dinamika Welfare Satate di Beberapa Negara: Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik Untuk Membangun Indonesia?. http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/UGMWelfareState.pdfv. (diakses pada tanggal 3 April 2009).

Suryo, Tejo. 2008. Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Program Reforma Agraria Nasional. Tesis. Program Pasca Sarjan IPB.

Tim Penyusun Kamus (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa). 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Rencana Jadwal Penelitian

No

Kegiatan

April

Mei

Juni

Juli

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

iI

Proposal dan Kolokium

1. Penyusunan Draft dan Revisi

2. Konsultasi Proposal

3. Kolokium

III

Studi Lapangan

1. Pengumpulan Data

2. Analisis Data

IIII

Penulisan Laporan

1. Analisis Lanjutan

2. Penyusunan Draft dan Revisi

3. Konsultasi Laporan

IIV

Ujian Skripsi

1. Ujian

2. Perbaikan Skripsi

Lampiran 2: Kebutuhan Data dan Teknik Pengumpulannya

No

Kebutuhan

Data/Informasi

Sumber Data/Informasi

Teknik Pengumpulan Data

1.

Profil dan sejarah lokasi

a) Administrasi geografis dan topografi

b) Jumlah penduduk

c) Karakteristik Masyarakat

d) Sejarah terbentuknya desa

e) Perkembangan desa

f) Kepemilikan lahan

g) Jumlah keluarga miskin

h) Potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia

i) Kelompok tani

Data sekunder:

Daftar isian potensi desa atau data monografi desa Arsip BPN

Data primer:

Aparat desa, tokoh, dan anggota masyarakat

* Studi literatur

* Wawancara mendalam

* Observasi

2.

Latar belakang penentuan lokasi reforma agraria

a) Latar belakang penetapan desa sebagai Lokasi Reforma Agraria

b) Sistem pelaksanaan kegiatan RA

c) Bentuk kegiatan RA

d) Komponen masyarakat yang terlibat dalam kegiatan RA

Data primer:

tokoh masyarakat, kades, aparat desa, petugas BPN, sasaran

Data sekunder:

Arsip BPN

* Studi literatur

* Wawancara mendalam

* Observasi

3.

Persepsi/tanggapan Masyarakat terhadap program RA

Data primer:

sasran, tokoh dan aparat desa, masyarakat non-sasaran

* Wawancara mendalam

4.

Partisipasi masyarakat dalam kegiatan RA

Data primer:

Sasaran RA, petugas, aparat desa, penyuluh

* Wawancara mendalam

* Observasi

5.

Pengetahuan masyarakat mengenai program RA

a) Pemahaman mengenai apa RA

b) Aturan atau prosedur mengikuti program RA

Data primer:

asaran Program, masyarakta umum, dan petugas

Data sekunder:

Buku Reforma Agraria BPN

* Studi literatur

* Wawancara mendalam

* Observasi

6.

Jenis bantuan

a. Lahan (luas)

b. Teknologi

c. Modal

d. Pelatihan

Data primer:

Sasaran, petugas, aparat desa.

Data sekunder:

Arsip BPN (data alokasi bantuan RA)

* Wawancara mendalam

* Observasi lapang

* Studi literatur

7.

Pengaruh yang dirasakan (moril dan materil)

Data primer:

sasaran, petugas, aparat desa, tokoh masyarakat, masyarakat non-sasran

* Wawancara mendalam

* Observasi

8.

Permasalahan yang dihadapai dalam pelaksanaan RA

a) Konflik antar masyarakat

b) Konflik antara masyarakat dengan pemerintah

c) Keterbatasan SDM

d) Alokasi waktu

Data primer:

tokoh masyarakat, kades, aparat desa, petugas, sasaran program

* Wawancara mendalam

* Observasi

9.

Konsep kesejahteraan menurut sasaran

Data primer:

Subyek (sasaran RA)

* Wawancara mendalam

Lampiran 3: Panduan Pertanyaan

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM

A. Petunjuk

Wawancara mendalam (ideph interview) dilakukan oleh peneliti untuk menggali secara langsung gambaran secara komprehensif berkaitan dengan aspek-aspek kajian. Catatan singkat ditulis dalam ruangan yang kosong di bawah kotak aspek-aspek yang ditanyakan dalam wawancara mendalam untuk dikembangkan menjadi laporan.

B. Wawancara Mendalam

Hari, tanggal :

Lokasi Wawancara :

Nama & Umur :

Pekerjaan :

C. Panduan Pertanyaan (Petugas Pelaksana Program RA)

a. Latar belakang penentuan lokasi RA

1. Mengapa memilih desa ini sebagi lokasi pelaksanaan program RA?

2. Apakah ada tuntutan dari warga atau komponen masyarakat lainnya (LSM), mengapa mereka melakukan tuntutan?

3. Bagaimana hubungannya dengan lahan PT. PP Jasinga?

4. Apa tujuan dilaksanakannnya RA?

b. Sistem pelaksanaan kegiatan RA

1. Apa saja tugas yang anda lakukan dalam kegiatan program RA di desa ini?

2. Sejak kapan anda menjadi petugas?

3. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan RA?

4. Apa saja syarat yang harus dimiliki petani agar mereka bisa mendapatkan bantuan?

5. Bagaimanakah teknis pembagian lahan?

6. Bagaimanakah teknis sertifikasi lahan yang diberikan kepada petani?

7. Lahan yang diberikan bersifat pinjaman atau menjadi hak milik?

c. Bentuk kegiatan RA

Apa saja kegiatan RA selain pemberian lahan?

d. Komponen masyarakat yang terlibat dalam kegiatan RA

Siapa saja yang dilibatkan dalam pelaksanaan program RA?

e. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan RA

Bagaimana tanggapan warga terhadap program RA dan terhadap petugas?

f. Jenis/bentuk bantuan

Apa saja bantuan yang diberikan kepada sasaran/subyek RA?

g. Pengaruh yang dirasakan

Apakah anda sudah melihat adanya pengaruh dari RA yang dirasakan oleh sasaran/subyek baik secara moril maupun materil? Apa saja pengaruh tersebut?

h. Permasalahan yang dihadapi

1. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program RA?

2. Apakah pernah terjadi konflik, baik ntar warga, antara warga dan pemerintah, atau antara warga dan pihak swasta?

3. Mengapa terjadi konflik?

4. Bagaimakah menyelesaikan konflik tersebut?

5. Kegiatan apa sajakah yang sering mendapatkan hambatan?

6. Bagaimana cara mengatasi hambatan/kendala dalam pelaksanaan RA?

D. Panduan Pertanyaan (Petani yang Menjadi Subyek Program RA)

a. Profil dan sejarah lokasi

1. Darimana asal nama desa ini?

2. Apakah ada ceria khusus dari desa ini?

3. Apakah desa ini terbetuk sejak awal, atau dari pemekaran desa lain?

4. Apakah mata pencaharaian sebagian besar penduduk desa ini?

5. Tardisi apa saja yang masih berlaku di desa ini?

b. Identitas diri

1. Siapakah nama anda?

2. Sejak kapan anda tingal di desa ini?

3. Apakah anda penduduk asli?

4. Jika tidak, darimanakah asal anda?

5. Apakah kesibukan anda sehari-hari?

6. Sejak kapan anda bekerja?

7. Mengapa anda melakukan pekerjaan itu?

8. Berapa lama alokasi waktu yang anda habiskan untuk melakukan kesibukan utama anda (kapan memulai dan kapan selesai)?

9. Apakah pekerjaan sampingan anda?

10. Mengapa anda mempunyai pekerjaan sampingan?

11. Dalam bekerja apakah ada yang mebantu anda? Siapa?

12. Adakah kesepakatan alokasi hasil usaha antara anda dan orang yang membantu anda bekerja?

13. Jika anda bertani, apa yang anda usahakan dari lahan anda (lahan dimanfaatkan untuk ditanam apa)?

14. Darimanakah anda mendapatakan bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan untuk memanfaatkan lahan anda?

15. Berapa kisaran modal produksi untuk lahan anda dalam satu kali musim tanam?

16. Berapa banyak hasil produksi lahan anda?

17. Dikonsumsi sendiri atau dijual?

18. Apakah hasil panen musim ini mencukupi untuk konsumsi hingga panen musim depan?

19. Jika tidak, bagaimana anda mensiasatinya?

20. Apakah karena panen musim ini anda masih dapat melakukan produksi untuk musim depan?

21. Jika tidak, bagaimana anda mensiasatinya?

c. Latar belakang penentuan lokasi RA

Apakah anda mengetahui mengapa desa ini dijadikan lokasi pelaksanaan RA?

d. Persepsi/tanggapan masyarakat terhadapa RA

1. Bagaiman tanggapan anda dengan adanya RA di desa ini?

2. Bagaimanakah perasaan anda menjadi sasaran/subyek RA di desa ini?

3. Bagaimana tanggapan anda tehadap petugas?

e. Partisipasi dalam kegiatan RA

1. Kegiatan RA apasajakah yang pernah anda ikuti?

2. Apakah sekarang anda masih aktif mengikutinya?

3. Jika tidak, mengapa?

f. Pengetahuan mengenai RA

1. Apakah yang dimaksud dengan RA?

2. Darimana anda mengetahuinya?

g. Bantuan yang diterima

Selain pemberian lahan, bantuan apa saja yang pernah diberikan kepada anda?

h. Pengaruh yang dirasakan

1. Apakah anda merasakan manfaat dari lahan yang diberikan kepada anda? –tolong ceritkan!

2. Ceritakan apa perubahan yang terjadi pada kehidupan anda dan keluarga dengan adanya bantuan program RA ini!

3. Apakah anda meraskan manfaat dari kegiatan-kegiatan penunjang program RA yang anda ikuti? Tolong ceritakan!

i. Hambatan yang dihadapi dalam mengikuti program RA?

1. Apakah kendala yang anda alami dalam mengikuti program RA?

2. Bagaimanakah anda mengatasinya?

3. Adakah yang membantu anda dalam mengatasi kendala tersebut?

j. Konsep kesejahteraan

1. Menurut anda, apakah yang dimaksud dengan masyarakat seajahtera?

2. Apakah di desa anda sudah ada yang sejahtera? Siapa?

3. Menurut anda, apakah anda sudah sejahtera?

4. Jika belum, mengapa?

k. Kepemilikan lahan

1. Berapkah luas lahan yang anda miliki dari RA?

2. Berapakah luas lahan yang anda miliki selain dari RA?

3. Menurut anda apakah lahan yang anda miliki sudah mencukupi untuk menopang kehidupan anda? Jika belum, mengapa?

l. Pertanyaan lain

1. Jika anda memiliki anak, berapakah jumlah anak yang anda miliki?

2. Apakah anak anda ada yang bersekolah?

3. Jika ada, berapa yang bersekolah dan pada jenjang apa?

4. Jika tidak, mengapa tidak bersekolah?

5. apakah hasil panen cukup membiayai sekolah anak anda?

6. Jika tidak, bagaimana anda mensiasatinya?

7. Apakah ada bantuan dari pemeritah aatu pihak lain?

E. Panduan Pertanyaan Untuk Subyek Penelitian Lainnya

Dalam melakukan wawancara mendalam terhadapa subyek penelitian selain petugas RA dan sasaran/subyek program RA akan digunakan panduan pertanyaan yang serupa, hanya saja akan dipilih pertayanaan-pertanyaan tertentu saja dengan menyesuaikan antar subyek dan kebutuhan informasi yang akan digali.


[1] Usep Setiawan, Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria.

[2] Suryo (2008). Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Program Reforma Agraria Nasional di Kecamatan Jasinga.

Posted in agraria, Bogor, Jawa Barat, kesejahteraan | Dengan kaitkata: , , , , , | 1 Comment »

Implikasi Perluasan Areal Konservasi Terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan

Posted by kolokium kpm ipb pada 11 April 2009

MAKALAH KOLOKIUM

Nama Pemrasaran/NRP : Agustina Nurhaeni/I34051365

Departemen : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pembahas : Whennie Sasfira Adly/I34050420

Dosen Pembimbing/NIP : Martua Sihaloho, SP, MSi/132321421

Judul Rencana Penelitian : Implikasi Perluasan Areal Konservasi Terhadap Pengelolaan Hutan dan Luas Lahan

Tanggal dan Waktu : 14 April 2009/09.00-09.50 WIB

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Luas daratan Indonesia adalah sekitar 192 juta hektar dan dari luasan tersebut yang berupa kawasan hutan 147 hektar. Selanjutnya berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dilaporkan bahwa kawasan hutan Indonesia adalah 143 juta hektar yang terdiri atas hutan produksi seluas 64 Juta hektar yang terbagi atas hutan produksi tetap (HP) 33 juta hektar dan hutan produksi terbatas (HPT) 31 juta hektar, hutan lindung 29,5 juta hektar, hutan konservasi 30,5 juta hektar, hutan swaka alam dan wisata 19 juta hektar (Soetarto, 2000).

Penggunaan hutan paling besar adalah untuk hutan produksi dimana hutan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pengeksploitasian ini diantaranya untuk dijadikan ladang berpindah, persawahan, pemukiman, lahan perindustrian maupun lahan perkebunan. Perebutan lahan hutan yang awalnya merupakan open access itu, kini menjadi persengketaan, dan tidak jarang berujung pada konflik mendalam. Hal ini bukan saja diakibatkan oleh perebutan sumber-sumber daya alam di dalamnya tetapi juga proses klaim dan tata guna lahan yang sampai saat ini masih banyak terjadi penyimpangan.

Kawasan hutan Halimun yang sekarang ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan salah satu kawasan sarat konflik. Keberadaan kurang lebih 100.000 jiwa penduduk dalam kawasan baik masyarakat asli (adat kasepuhan) maupun masyarakat lokal dan pendatang menjadi persoalan tersendiri selain keberadaan perusahaan perkebunan dan pertambangan. Kepentingan investasi pertambangan untuk eksploitasi sumberdaya alam Halimun pun tidak kunjung reda sejak jaman Pemerintah Kolonial Belanda, hal yang secara prinsip bertentangan dengan kepentingan konservasi kawasan. Pada sisi lain, hak-hak masyarakat (adat dan lokal) tidak diperhatikan dalam perebutan sumberdaya alam tersebut. Pengakuan masyarakat adat kasepuhan misalnya tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat (Priatna, 2008).

Tahun 1992 muncul kebijakan tentang pengalih fungsian kawasan dari hutan produksi menjadi hutan konservasi, pengelolaannya-pun diserahkan kepada pihak PPA dalam bahasa masyarakat setempat (sekarang taman nasional). Alih fungsi ini bersamaan dengan pemancangan tata batas kawasan secara sepihak, dimana masyarakat tidak mengetahuinya. Wilayah desa Cirompang merupakan wilayah yang masuk ke dalam kawasan konservasi tahun 1992 (Menjadi Taman Nasional Gunung Halimun) dengan luas 40.000 Ha atau pasca perluasan (tahun 2003) menjadi 113.357 Ha disebut dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pada tataran masyarakat dan lapangan hampir tidak terjadi benturan, akan tetapi kecemasan masih tetap ada. Alasannya adalah perbedaan kepentingan antara masyarakat yang menginginkan ada kombinasi produksi dan konservasi disatu pihak, sedangkan dipihak lain taman nasional yang masih cenderung mempertahankan aspek konservasi (Priatna, 2008).

Perbedaan sudut pandang antara pihak-pihak yang berkepentingan tersebut akan berpengaruh ke semua aspek kehidupan masyarakat. Apabila klaim tata guna hutan konservasi tersebut sudah disahkan dan masyarakat tidak bertindak sesegera mungkin, maka mereka akan kehilangan lahan garapan yang merupakan sumber penghidupan sehari-hari. Hilangnya hak kepemilikan lahan tersebut bukan hanya berdampak pada para penggarap saja tetapi juga pada masyarakat secara tidak langsung. Harga kebutuhan pokok akan meningkat, mengingat hampir semua kebutuhan pangan dipenuhi dari hasil alam desa mereka sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman dan analisis masalah secara partisipatif untuk mendapatkan resolusi yang tepat, sehingga masyarakat dapat mengatasi masalahnya dengan didasari oleh pengetahuan yang mereka miliki digabung dengan adanya pengetahuan perkembangan undang-undang yang ada serta teknologi modern yang telah tersedia.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang akan dijawab pada penelitian ini, yaitu:

a. Bagaimana hubungan antara aksesibilitas masyarakat terhadap pengelolaan hutan sebelum dan setelah adanya perluasan areal Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Desa Cirompang?

b. Bagaimana luas lahan, baik milik, pengusahaan, maupun garapan masyarakat Desa Cirompang saat ini dan apabila tata guna lahan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak telah disahkan dan kaitannya dengan pendapatan petani?

c. Bagaimanakah dinamika penyelesaian masalah dan konflik yang telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Cirompang?

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi hubungan antara aksesibilitas masyarakat terhadap pengelolaan hutan sebelum dan setelah adanya perluasan areal Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di Desa Cirompang.

b. Mengidentifikasi luas lahan, baik milik, pengusahaan, maupun garapan masyarakat Desa Cirompang saat ini dan apabila tata guna lahan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak telah disahkan dan pengaruhnya terhadap pendapatan petani.

c. Mengetahui dinamika penyelesaian masalah dan konflik yang telah dilakukan oleh masyarakat di Desa Cirompang.

I.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan mengenai masalah-masalah sosial yang terjadi di desa-desa berkonflik seperti Desa Cirompang. Bagi akademisi diharapkan laporan ini dapat memberikan sumbangan bagi khasanah ilmu pengetahuan dan bagi pihak-pihak yang terkait, semoga dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam mengambil keputusan khususnya untuk permasalahan yang terjadi di Desa Cirompang.

II. PENDEKATAN TEORITIS

II.1 Tinjauan Pustaka

II.1.1 Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 menerangkan tentang penunjukan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan perubahan fungsi kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak yang dikelola oleh Perum Perhutani, maka (TNGH) yang luasnya 40.000 hektar berubah menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) dengan luas kawasan 113.357 hektar. Pengelolaan TNGHS berada di bawah Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (BTNGHS) (Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, 2007).

II.1.2 Konflik Sumberdaya

Terdapat empat faktor yang biasanya menjadi pemicu konflik (Fermata, 2006), yaitu: sejarah lokal, dimana masyarakat merasa tanah itu miliknya karena mereka yang lebih dahulu tinggal; intervensi asing berupa campur tangan pihak luar terhadap permasalahan yang ada; kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan hak ulayat dan masyarakat, dan; dinamika internal, dimana tanah yang tersisa dan alternatif strategi bertahan hidup lainnya tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan mereka.

Sumber konflik pertanahan yang terjadi antara lain disebabkan oleh (Suhendar, 2002):

a. Pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan merata;

b. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan non-pertanian;

c. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah (red);

d. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat);

e. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemgang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.

II.1.3 Aksesibilitas Masyarakat

Aksesibilitas seperti yang diterangkan oleh Adiwibowo (2008) memiliki beberapa tingkatan, secara umum terbagi atas hanya memiliki Akses dan kontrol, di tingkatan selanjutnya, masyarakat memiliki kewenangan menjaga sumberdaya, mengelola smberdaya dan yang teratas adalah dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut serta mengolahnya dengan cara mereka.

II.1.4 Lahan Pertanian

Lahan pertanian bisa berupa lahan milik sendiri atau lahan milik orang lain yang digarap petani, yang disebut sebagai lahan garapan. Emakin besar persentase luas lahan milik dari luas lahan pengusahaan, maka usaha tani akan semakin efisien dan relatif besar keuntungannya daripada berusaha tani pada lahan milik orang lain karena berusaha tani pada lahan milik orang lain resikonya akan lebih besar daripada berusaha tani pada lahan milik sendiri. Dengan menggarap lahan milik orang lain, paling tidak si peggarap harus membayar sewa, bagi hasil, dan bentuk lainnya. Selain itu, kontinuitas usaha pada lahan milik orang lain kurang terjamin. Suatu waktu apabila lahan tersebut dijual pemiliknya, atau diganti penggarapnya, maka petani tersebut akan kehilangan lahannya (Ruswandi 2005).

II.1.5 Pendapatan Pertanian

Pendapatan pertanian menggambarkan tingkat produktivitas lahan tersebut yang digunakan untuk usaha tani. Dalam ekonomi lahan, pendapatan usaha tani disebut land rent (keuntungan bersih atas penggunaan lahan). Usaha tani merupakan sumber pendapatan utama bagi keluarga tani (Ruswandi, 2005).

II.1.6 Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Menurut Nur et. al. (2004), Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat (PSDABM) atau Community Based for Natural Resources Management (CBNRM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaan. Selain itu, masyarakat lokal memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaan (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka PSDABM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional. Penerapannya akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerah.

Prinsip dasar dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat menurut Herryadi (2003) sebagaimana dikutip Nur et. al. (2004), yaitu:

a. Aktor utama pengelola adalah rakyat (masyarakat lokal, masyarakat adat)

b. Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol langsung oleh rakyat yang bersangkutan

c. Batas antara kawasan unit pengelolaan komunitas setempat terdelineasi secara jelas dan diperoleh melalui persetujuan antar pihak yang terkait di dalamnya

d. Terjaminnya akses dan kontrol penuh oleh masyarakat secara lintas generasi terhadap kawasan pengelolaan

e. Terjaminnya akses pemanfaatan hasil sumberdaya alam sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian (sustainability) oleh komunitas secara lintas generasi di dalam kawasan konsesi

f. Digunakan tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang tepat terhadap pertentangan klaim atas wilayah yang sama

g. Adanya pengakuan dan kompensasi formal (legal) terhadap penggunaan pengetahuan tradisional (indigenous knowledge) masyarakat di dalam sistem pengelolaan yang diterapkan

II.1.7 Proses Menyeimbangkan Kekuasaan

i34051365-a

Gambar1. Proses Menyeimbangkan Kekuasaan (Fisher, 2001)

Gambar 1 menerangkan bahwa salah satu langkah dalam menyelesaikan konflik sumberdaya, dalam hal ini sumberdaya hutan perlu adanya komunikasi untuk menyeimbangkan kekuasaan. Adanya kesadaran masing-masing pihak dibutuhkan agar muncul mobilisasi dan pemberdayaan yang sebenarnya sangat riskan terhadap konfrontasi dan konflik dan apabila itu terjadi, maka perlu dimunculkan kembali kesadaran semua pihak. Kesadaran tersebut dapat dimunculkan baik melalui negoisasi, mediasi maupun diskusi formal dan informal lainnya. Siklus ini akan terus berputar sampai terbentuk hubungan yang disetujui oleh stakeholders atas sumberdaya hutan tersebut.

II.2 Kerangka Pemikiran

Adanya perluasan areal konservasi yang batasnya masuk ke Desa Cirompang menyebabkan dampak yang besar bagi masyarakat. Batas yang ditetapkan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak memakan sebagian besar hutan milik desa dan lahan masyarakat. imbasnya atas klaim hutan adalah berkurangnya aksesibilitas masyarakat terhadap hutan yang akan berpengaruh pada pengelolaan hutan secara lestari. Sedangkan lahan masyarakat yang terkena klaim kemungkinan juga akan mempengaruhi pendapatan masyarakat di bidang pertanian.

Fenomena ini kemudian menimbulkan konflik sumberdaya dan untuk memperbaiki keadaan perlua adanya proses menyeimbangkan kekuasaan dengan menimbulkan rasa saling percaya diantara para stakeholder sehingga mereka dapat sejajar dalam mengelola hutan. Luasnya areal hutan yang tidak memungkinkan dapat diawasi oleh pemerintah secara keseluruhan, akan dibantu oleh masyarakat menggunakan asas simbiosis mutualisme, dimana masyarakat juga dapat mengelola hutan dengan cara dan hukum yang mereka miliki.

i34051365-b

II.2.1 Hipotesis Pengarah

Bagan alur pemikiran di atas menghasilkan beberapa pola yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

a. Semakin tinggi aksesibilitas masyarakat terhadap hutan, semakin baik pula tingkat pengelolaan hutan.

b. Diduga terjadi penurunan kepemilikan lahan setelah adanya klaim lahan dari Taman Nasional dan akan mempengaruhi pendapatan petani.

c. Bentuk penyelesaian konflik menuju ke arah pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dengan berdasar pada prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat.

II.2.2 Definisi Operasional

a. Pengelolaan hutan

Kegiatan memelihara, menjaga dan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dengan indicator kelestarian sebagai berikut

Pengelolaan hutan menjaga atau meningkatkan akses antar generasi terhadap sumberdaya dan berbagai manfaat ekonomi secara adil

Stakeholder yang relevan memiliki hak dan kemampuan yang diakui untuk mengelola hutan secara bersama dan adil

Kesehatan hutan, para pengelola hutan, dan budayanya dapat diterima oleh para stakeholder

b. Stakeholder

Pihak-pihak yang berkepentingan atas sumberdaya yang tersedia. Secara garis besar, stakeholder meliputi masyarakat, pemerintah, dan swasta

c. Taman Nasional

Areal konservasi bagi daerah hutan yang ditetapkan oleh pemerintah dengan peraturan perundang-undangan

d. Lahan dan areal

Sebidang tanah yang digunakan dan/atau oleh suatu pihak untuk tujuan tertentu. Pada penelitian kali ini, lahan yang dimiliki masyarakat dibedakan atas:

Luas lahan milik yaitu lahan yang dimilki sendiri oleh masyarakat

Luas lahan pengusahaan yaitu lahan yang digunakan untuk kegiatan, baik bertani, beternak, memelihara ikan, dan sebagainya.

Luas lahan garapan yaitu luas lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian

e. Konflik sumberdaya

Adanya benturan kepentingan antara pihak-pihak pengelola hutan

f. Pemahaman dan analisis konflik

Cara seseorang atau sekelompok masyarakat untuk mencoba melihat dan mencari pemecahan atas adanya sebuah perbedaan kepentingan

g. Aksesibilitas masyarakat lokal terhadap hutan dapat diketahui dengan melakukan perbandingan pada setiap masa kekuasaan. Variabel yang dibandingkan adalah sebagai berikut:

Mengatur akses terhadap hutan

Menjaga dan memelihara hutan

Mengelola hasil hutan

Memungut/memanfaatkan hasil hutan

h. Pendapatan petani

Materi yang didapatkan oleh petani baik itu pemilik, penggarap, maupun pemilik penggarap.

III. PENDEKATAN LAPANGAN

III.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Pendekatan kuantitatif. Peneliti menggunakan metode kuantitatif sebagai metode utama untuk menganalisis tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Cirompang dengan menggunakan metode penelitian survey dengan menggunakan pertanyaan terstruktur/sistematis yang sama kepada banyak orang untuk kemudian seluruh jawaban yang diperoleh peneliti dicatat, diolah, dan dianalisis. yang ditunjang dengan metode kualitatif untuk dapat melihat bagaimana masyarakat menyelesaikan konflik yang ada.

Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitian dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Hasil akhir dari penelitian ini berupa tipologi atau pola-pola mengenai fenomena yang sedang dibahas. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menggambarkan mekanisme sebuah proses dan menciptakan seperangkat kategori (Prasetyo, 2006).

III.2 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cirompang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Jawa Barat dan akan berlangsung dari tanggal 20 April-10 Mei 2009. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan didasarkan pada pencarian wilayah dimana hampir seluruh kebutuhan akan bahan pangan dipenuhi sendiri dari dalam desa. Selain itu, lokasi penelitian mengalami konflik laten yang belum berkepanjangan sehingga masih lebih mudah diangkat ke permukaan untuk diselesaikan tanpa menggunakan kekerasan dan melalui peradilan. Data ini akan mendukung data yang sudah ditemukan oleh peneliti sebelumnya untuk mendapatkan izin atas lahan garapan yang saat ini sudah diklaim sebagai bagian dari kawasan TNGHS namun belum disahkan sehingga masih memungkinkan bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka atas lahan tersebut.

III.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang akan dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer diambil dari kuesioner yang telah diisi oleh para responden dan wawancara mendalam dengan beberapa informan. Data sekunder diperoleh dari analisis dokumen dan literatur-literatur lain yang relevan sebagai tambahan juga bahan pembanding untuk data yang sudah yang sudah ditemukan di lapangan. Untuk menjawab pertanyaan perumusan masalah tentang keadaan hutan saat ini dan tingkat kesejahteraan masyarakat, akan digunakan kuesioner yang akan diisi oleh responden. Dalam memilih responden digunakan salah satu teknik penarikan sampel probabilita, yaitu cluster random sampling, dimana peneliti mengambil sampel petani yang merupakan suatu kelompok pekerjaan dalam masyarakat. Penelitian kali ini akan menggunakan sampel petani, baik pemilik maupun penggarap (buruh tani) baik di lahan sawah maupun kebun karena responden dalam penelitian ini dianggap orang yang memang memahami dan merasakan dampak langsung dari perluasan areal konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Untuk pengambilan sampel penelitian, digunakan rumus Slovin,yaitu:

i34051365-c

Bentuk penyelesaian konflik yang ada di Desa Cirompang dianalisis menggunakan data kualitatif yang akan diambil dari para informan dengan metode wawancara mendalam. Untuk mendapatkan informan yang berkompeten, akan digunakan teknik penarikan sampel bola salju (snowball sampling) dengan mengetahui satu nama informan, kemudian dari informan inilah peneliti akan memperoleh nama-nama lainnya dan begitu seterusnya. Selain menggunakan teknik wawancara mendalam, peneliti juga melakukan pengamatan berperan serta dimana peneliti ikut juga melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan baik responden maupun informan dalam usaha memperoleh pengakuan atas lahan mereka.

III.4 Teknik Analisis Data

Data pengelolaan hutan saat ini dianalisis dengan menggunakan Skala Likert yang terdiri dari lima point yang bergerak dari ekstrim negatif sampai dengan ekstrim positif. Untuk penilaian skala, ditentukan ekstrim negatif diberi nilai +1 dan ekstrim positif diberi nilai +5. Sedangkan pada aksesibilitas akan digunakan skala ordinal mulai dari memungut/memanfaatkan hasil hutan dengan nilai +1 sampai mengatur akses terhadap hutan dengan nilai +4. Setelah data pengelolaan hutan dijumlahkan, dilakukan uji dengan menggunakan koefisien korelasi tata jenjang Spearman. Statistik ini digunakan untuk mengukur asosiasi antara dua variabel yang keduanya setidak-tidaknya mempunyai ukuran skala ordinal yang memungkinkan agar individu obyek yang diteliti itu dapat diberi jenjang. Uji ini akan dilakukan dua kali untuk mendapatkan pola kesesuaian antara keadaan sebelum dan sesudah perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Pengolahan data luas lahan dan pendapatan petani akan dilakukan dengan uji Chi Square untuk melihat hubungan nyata antar keduanya. Sebelum dilakukan pengujian hubungan, terlebih dahulu data-data berbentuk nominal tersebut dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yang telah ditentukan untuk memudahkan pengolahan.

Data kualitatif diolah sejak awal pengumpulan data. Analisis data kualitatif, baik primer maupun sekunder diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus, 1998). Reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi data-data yang tidak diperlukan juga diorganisir sehingga dapat langsung menjawab perumusan masalah yang ada. Kemudian data akan disajikan dalam bentuk teks naratif maupun matriks yang menggambarkan dinamika konflik serta bentuk penyelesaiannya. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan bersama dengan informan sebelum peneliti menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwibowo, Soeryo. 2008. Kasus Pengelokaan Kolaboratif Hutan: SGP PTF. Slide Kuliah. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Fermata, Wydia. 2006. Reklaiming Lahan Sebagai Bentuk Resistensi Masyarakat Desa Hutan (Kasus Perlawanan Masyarakat Desa Margaharja, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat terhadap Perum Perhutani). Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Nur, Nustam, et. al. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat. Samarinda: PT. Hatfindo Prima.

Prasetyo, Bambang, Lina M. J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Priyatna, Bagus. 2008. Rapid Land Tenure Assesment. Bogor: RMI

Ruswandi, Agus. 2005. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Perubahan Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah. Thesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Salak, Balai Taman Nasional Gunung Halimun. 2007. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah). Sukabumi: Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Sitorus, M.T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial.

Sudaryanto. 1986. Studi Tentang Tingkat Kesejahteraan Blandong Pada Perusahaan Hutan Jati Perum Perhutani. Laporan Penelitian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suhendar, Endang, et. al. 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Yayasan AKATIGA.

Soetarto, Endriatmo, et. al. 2000. Penguasaan Lahan dan Pola Usaha serta Pemberdayaan BPN dan Pemda Dalam Rangka Partisipasi Rakyat di Sektor Perkebunan. Prosiding Lokakarya. Bogor: Pustaka Wirausahawan Muda.

LAMPIRAN I

PANDUAN PERTANYAAN

1. Menurut anda, siapa saja yang saat ini berkepentingan atas hutan di Desa Cirompang?

2. Apa saja kegiatan yang mereka lakukan?

3. Apakah pernah terjadi masalah antar pihak-pihak yang berkepentingan tersebut?

4. Apa yang menjadi penyebab keributan atau keresahan tersebut?

5. Bagaimana cara para pihak menyelesaikan masalah tersebut?

6. Bagaimana cara masyarakat untuk menjaga hutan yang ada di Desa Cirompang?

7. Apakah hal tersebut masih dilakukan pasca klaim dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak?

8. Bagaimana masyarakat menyikapi adanya klaim lahan dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak?

9. Bagaimana posisi masyarakat dalam menghadapi pihak-pihak tersebut?

10. Apa tindakan masyarakat atas klaim yang lahan tersebut?

11. Adakah negoisasi atau mediasi yang terjadi?

12. Adakah kekerasan yang terjadi akibat klaim tersebut sebagai usaha penyelesaian konflik?

13. Apakah tuntutan dari masyarakat kepada pihak Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak?

14. Bagaimana pihak Balai menanggapi tuntutan tersebut?

15. Bagaimana tahapan-tahapan yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi keresahan akibat klaim tersebut?

16. Sudah sampai manakah langkah yang dilakukan masyarakat?

17. Apa peran kepala desa dalam penyelesaian konflik tersebut?

18. Apa pula peran ketua adat/Olot dalam penyelesaian konflik tersebut?

19. Apa harapan masyarakat ke depannya?

20. Bagaimana cara mewujudkan harapan tersebut?

LAMPIRAN II

KUESIONER

IMPLIKASI PERLUASAN AREAL KONSERVASI TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Peneliti bernama Agustina Nurhaeni, merupakan mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan studi.

Peneliti berharap Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini dengan lengkap dan jujur, identitas dan jawaban Bapak/Ibu dijamin kerahasiaannya dan semata-mata hanya akan digunakan untuk kepentingan penulisan skripsi ini.

Terimakasih atas kesediaan Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini.

No. Responden

Lokasi Wawancara

Hari/Tanggal Wawancara

I. KARAKTERISTIK INDIVIDU

Nama

Umur

………..tahun

Jenis kelamin

1) Laki-laki

2) Perempuan

Alamat

……………………………………

Kampung: ……………………………..

Pendidikan terakhir

1) Tidak bersekolah

2) SD

3) SLTP

4) SLTA

5) D1-D2-D3

6) S1

7) S2 ke atas

Lama tinggal di lokasi

1) Kurang dari satu tahun

2) Antara 1-4,99 tahun

3) Antara 5-10 tahun

4) Lebih dari 10 tahun

Status kependudukan

1) Asli

2) Pendatang, dari…………

Status perkawinan

1) Belum kawin

2) Kawin

3) Cerai hidup

4) Cerai mati

Jumlah tanggungan

Laki-laki : …………..orang

Perempuan : …………orang

Apakah anda memiliki pekerjaan?

1) Ya

2) Tidak

Pekerjaan utama

1) Petani/Buruh Tani

2) Pegawai Negeri Sipil (PNS)

3) Pegawai swasta

4) Wiraswasta/usahawan

5) Pelajar

6) Lainnya:………………..

II. PENGELOLAAN HUTAN SAAT INI

Keterangan: beri tanda (x) pada salah satu kotak dari setiap baris.

(1) = Setuju, (3)=Ragu-ragu, (2) = Tidak setuju

Pernyataan

Sebelum Perluasan

Setelah Perluasan

1

2

3

1

2

3

Pengelolaan hutan menjaga atau meningkatkan akses antar generasi terhadap sumberdaya dan berbagai manfaat ekonomi secara adil

Kepemilikan dan hak pemanfaatan sumberdaya jelas

Berbagai aturan dan norma dalam penggunaan sumberdaya dipantau dan ditegakkan pelaksanaannya

Cara-cara untuk mengatasi konflik berjalan baik

Akses terhadap sumberdaya dianggap adil oleh masyarakat lokal

Masyarakat lokal merasakan keamanan aksesnya terhadap sumberdaya

Mekanisme distribusi manfaat dianggap adil oleh masyarakat lokal

Adanya kesempatan bagi masyarakat lokal dan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan untuk memperoleh pekerjaan dari perusahaan-perusahaan kehutanan

Ganti rugi terhadap kerusakan diberikan secara adil

Berbagai hasil hutan digunakan secara optimal dan adil

Masyarakat menanamkan modal di lingkungannya (misalnya waktu, tenaga, uang)

Tingkat migrasi keluar rendah

Masyarakat menyadari pentingnya keseimbangan antara jumlah penduduk dengan pemanfaatan sumberdaya alam

Anak-anak mendapatkan pendidikan (formal dan informal) tentang pengelolaan sumberdaya alam

Perusakan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal jarang terjadi

Masyarakat memelihara hubungan batin dengan lahan hutan

Stakeholder yang relevan memiliki hak dan kemampuan yang diakui untuk mengelola hutan secara bersama dan adil

> 50% dari pegawaiDepartemen Kehutanan dan Perkebunan dan karyawan HPH dapat berbicara dalam satu atau beberapa bahasa lokal, atau > 50% wanita lokal dapat menggunakan bahasa yang digunakan oleh HPH dalam berinteraksi

Pihak yang berkepentingan bertemu dengan frekuensi yang cukup

Kontribusi masing-masing pihak saling dihormati dan dihargai secara wajar

Adanya rencana/peta-peta yang menunjukkan pengintegrasian berbagai penggunaan hutan oleh berbagai pihak yang berbeda

Rencana yang diperbarui, studi-studi dasar dan peta dapat diperoleh dengan mudah, yang menunjukkan rincian kawasan seperti penebangan hutan dan pembangunan jalan, disertai kerangka waktu

Stusi-studi dasar tentang sistem masyarakat lokal juga tersedia dan diacu

Pegawai pengelola hutan mengakui adanya berbagai kepentingan dan hak pihak lainnya

Pengelolaan hutan mencerminkan kepentingan dan hak-hak masyarakat

Tingkat konflik yang ada dapat diterima oleh semua pihak

Kesehatan hutan, para pengelola hutan, dan budayanya dapat diterima oleh para stakeholder

Berbagai kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia tetap dalam keadaan stabil atau membaik

Migrasi masuk dan/atau pertambahan penduduk secara alami selaras dengan pemeliharaan hutan

Pihak pengelola hutan bekerjasama dengan petugas kesehatan masyarakat dalam mengatasi berbagai penyakit yang berkaitan dengan pengelolaan hutan

Status gizi masyarakat lokal cukup baik

Para pegawai yang bekerja di bidang kehutanan memperhatikan persyaratan dan keamanan kerja

Para pengelola hutan dapat menjelaskan keterkaitan antara budaya masyarakat dengan hutan lokal

Rencana-rencana pengelolaan hutan mencerminkan perhatian terhadap isu-isu yang terkait dengan kebudayaan

Tidak ada tanda-tanda tentang adanya perpecahan budaya

III. AKSESIBILITAS MASYARAKAT

Tingkatan

Periode

Sebelum Perluasan

Setelah Perluasan

Mengatur akses terhadap hutan

Menjaga dan memelihara hutan

Mengelola hasil hutan

Memungut/memanfaatkan hasil hutan

IV. KEPEMILIKAN DAN LUAS LAHAN

Apakah anda memiliki lahan pengusahaan?

1) Ya

2) Tidak

Apakah status lahan yang anda miliki?

1) Milik sendiri

2) Gadai

3) Sewa

4) Lainnya……………….

Berupa apa lahan pengusahaan tersebut?

1) Sawah/Ladang

2) Huma

3) Kolam Ikan

4) Lainnya…………………

Apakah anda mengelola sendiri lahan tersebut?

1) Ya

2) Tidak

Apakah dari lahan tersebut ada yang terkena klaim TNGHS?

1) Ya

2) Tidak

Luas lahan milik

…………………….hektar

Luas lahan milik yang terkena klaim

…………………….hektar

Persentase lahan milik yang terkena klaim

…………………….%

Luas lahan pengusahaan

…………………….hektar

Luas lahan pengusahaan yang terkena klaim

…………………….hektar

Persentase luas lahan pengusahaan yang terkena klaim

…………………….%

Persentase luas lahan pengusahaan dari luas lahan milik

…………………….%

Luas lahan garapan

…………………….hektar

Luas lahan garapan yang terkena klaim

…………………….hektar

Persentase luas lahan garapan yang terkena klaim

…………………….%

V. PENDAPATAN PETANI

Pendapatan dari hasil pertanian

Rp………………………/th

Pendapatan dari hasil pertanian apabila terjadi klaim

Rp………………………/th

Persentase perubahan pendapatan

……………………..%

Pendapatan dari hasil non-pertanian

Rp………………………/th

Persentase pendapatan non-pertanian dari keseluruhan pendapatan

……………………..%

Akses pekerjaan ke non-pertanian

Ada / Tidak

Jenis komoditi yang diusahakan

1.

2.

3.

Status petani

pemilik penggarap / penggarap / pemilik




LAMPIRAN III

RENCANA KEGIATAN PENELITIAN

Kegiatan

Maret 2009

April 2009

Mei 2009

Juni 2009

I

II

III

IV

I

II

III

IV

I

II

III

IV

I

II

III

IV

I. Proposal dan Kolokium

Penyusunan draft dan revisi

Konsultasi proposal

Kolokium dan perbaikan

II. Penelitian Lapang

Pengumpulan data

Pengolahan dan analisis data

III. Penulisan Laporan

Penyusunan draft dan revisi

Konsultasi laporan

IV. Ujian Skripsi

Ujian

Perbaikan laporan




Posted in agraria, hutan, Jawa Barat, konservasi, lebak | Dengan kaitkata: , , , , | 1 Comment »

Perubahan Struktur Agraria Di Wilayah Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus: Desa Cibahayu, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya)

Posted by kolokium kpm ipb pada 6 April 2009

MAKALAH KOLOKIUM

Nama Pemrasaran/NRP : Whennie Sasfira Adly/I34050420

Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pembahas : Rofian Dedi Susanto/I34052582

Dosen Pembimbing/NIP : Martua Sihaloho, SP., MSi./132 321 421

Judul Rencana Penelitian : Perubahan Struktur Agraria Di Wilayah Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus: Desa Cibahayu, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya)

Ruangan/Tanggal/Waktu : KPM 414/ 7 April 2009/ 11.00-11.50 WIB

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa pada tahun 2005 (Data BPS, 2005). Peningkatan jumlah penduduk terus terjadi setiap tahunnya dengan laju pertumbuhan penduduk 1,3 persen (Data BPS, 2005). Jumlah penduduk yang semakin tinggi ini akan diikuti pemenuhan kebutuhan untuk menunjang kehidupannya. Bentuk pemenuhan kebutuhan dapat berupa pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada.

Tanah atau sumberdaya lainnya pada suatu masyarakat agraris merupakan faktor produksi yang mempunyai arti penting baik menyangkut aspek sosiologi, ekonomi maupun aspek politik. Menurut Tjodronegoro (1998), tanah yang menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk bercocok tanam yang merupakan sumber kehidupan utamanya. Sumberdaya tanah bersifat multifungsi dalam aktifitas kehidupan manusia di berbagai bidang, baik di bidang pertanian maupun non-pertanian. Di bidang pertanian tanah digunakan sebagai lahan untuk berusahatani sehingga dapat menghasilkan produksi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan di bidang non-pertanian tanah digunakan sebagai tempat pemukiman, perkantoran/jasa maupun tempat lainnya.

Masalah penguasaan tanah yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia ini, tidak terkecuali di wilayah DAS tampaknya akan berlangsung terus dan semakin kompleks. Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu relatif tetap, sedangkan kebutuhan manusia terhadap tanah semakin meningkat. Adanya ketimpangan dalam penguasaan tanah akan membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat pedesaan sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama dalam kaitannya dengan pemerataan pendapatan, kesempatan kerja, jangkauan lembaga pemerintah dan lain sebagainya.

Di antara semua komponen DAS, manusia merupakan komponen yang memegang peranan penting dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang cukup pesat serta aktivitas masyarakat yang semakin beragam menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia akan sumberdaya. Pemenuhan kebutuhan penduduk akan menyebabkan eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Contohnya masyarakat DAS Citanduy pada umumnya merupakan masyarakat agraris yang sangat tergantung dari sumberdaya lahan (PSP IPB, 2005). Bagi masyarakat Citanduy yang tidak mempunyai alternatif lain karena keterbatasan dana, usia atau keahlian, maka bertani/buruh tani masih sangat menjadi pilihan (Prasetyo, 2004). Sebagai akibat dari pilihan tersebut dan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka intensitas pengelolaan semakin meningkat. Ketika masyarakat tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan subsistennya karena keterbatasan lahan yang mereka miliki, maka situasi ini kemudian mendorong mereka melakukan konversi hutan alam menjadi lahan budidaya pertanian, baik berupa kebun campuran, sawah dan lahan kering .

Menurut Indaryanti (2004) secara umum kondisi sumberdaya alam dibagian hulu dan tengah DAS Citanduy telah mengalami perubahan yang cukup serius dibanding beberapa tahun lalu. Perubahan-perubahan tersebut meliputi ketersediaan dan kualitas air, bencana banjir dan longsor pada musim penghujan akibat meluapnya air sungai serta kualitasnya yang semakin buruk akibat tercemar limbah pabrik dan lumpur atau tanah yang terbawa arus air sungai. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan terjadinya proses degradasi lingkungan DAS. Proses degradasi lahan dan kekritisan lahan DAS tersebut akan berpengaruh pada sistem pengelolaannya. Tulisan ini akan berusaha mengkaji mengenai perubahan struktur yang terjadi di wilayah Sub-DAS Cibahayu dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kemudian juga akan dilihat pengaruh perubahan-perubahan tersebut terhadap sistem pengelolaan sub-DAS Cibahayu.

1.2 Perumusan Penelitian

Beberapa permasalahan yang akan dikaji berdasarkan latar belakang di atas, diantaranya:

1. Bagaimana sistem pengelolaan Sub-DAS Cibahayu?

2. Bagaimana perubahan struktur agraria di Desa Cibahayu?

3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria di Desa Cibahayu?

4. Bagaiamana pengaruh perubahan struktur agraria Desa Cibahayu terhadap sistem pengelolaan terpadu Sub-DAS Cibahayu?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sistem pengelolaan Sub-DAS Cibahayu.

2. Untuk mengetahui perubahan struktur agraria di Desa Cibahayu.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria di Desa Cibahayu.

4. Untuk mengetahui pengaruh perubahan struktur agraria Desa Cibahayu terhadap sistem pengelolaan terpadu Sub-DAS Cibahayu.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini, khususnya bagi peneliti diharapkan dapat berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dibangku perkuliahan selama pelaksanaan penelitian dalam melihat fenomena praktis yang terjadi dan mengaitkannya dengan teori yang telah diperoleh. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk menjadi bahan penelitian dan penulisan selanjutnya. Kemudian, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan tambahan dalam mata kuliah Kajian Agraria dan Ekologi Manusia. Sedangkan bagi instansi yang terkait, dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan suatu tindakan yang berkaitan dengan sistem pengelolaan DAS.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Struktur Agraria

Sitorus (2002) menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau dapat disebut juga sebagai sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik. Sumber-sumber agraria ini sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria sangat erat kaitannya dengan akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi, sosial).

Merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, 6) UUPA 1960, Sitorus (2002) menyimpulkan sumber-sumber agraria sebagai berikut: (a) tanah atau “permukaan bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan; (b) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan perikanan (sungai, danau maupun laut); (c) hutan, meliputi kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas; (d) bahan tambang, mencakup beragam bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”; (e) Udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air.

Kemudian unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok), pemerintah (sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa) dan swasta (private sector mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalai institusi penguasaan/pemilikan/pemanfaatan (tenure institutions).

Sitorus (2002) membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama, ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu; kedua, ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Proporsi pertama menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan proporsi kedua menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan.

Menurut Wiradi (1984), kata ”penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif, sedangkan ”pemilikan” tanah menunjuk pada penguasaan formal. Penguasaan formal dapat dijelaskan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai penguasaan tanah. Penguasaan tanah belum tentu dan tidak harus disertai dengan pemilikan. Penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi- hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lain-lain (Sihaloho, 2004). Kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif (Wiradi, 1984). Hubungan-hubungan sosial agraria antar subyek agraria kemudian membentuk sebuah struktur agraria yang digambarkan dalam hubungan segitiga antar subyek agraria (Gambar 1).

i34050420-a

Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria

Kelembagaan penguasaan tanah yang ummnya dilakukan masyarakat di desa-desa Jawa adalah sebagai berikut (Wiradi dan Makali, 1984):

1. Sistem Gadai, merupakan bentuk kelembagaan penguasaan tanah dimana pemilik menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah unang secara tunai atau dengan bentuk pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan ketentuan pemilik tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebus, maka hak pengusahaan tanahnya ada pada pemegang gadai. Pengembalian tanah dilakukan setelah tanah selesai dipanen.

2. Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan penyewa.

3. Sistem bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang lain untuk diusahakan, dengan penggarap akan menanggung beban tenaga kerja seluruhnya dan menerima sebagian dari hasil tanahnya.

2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Struktur Agraria

Manusia merupakan komponen yang memegang peranan penting dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang cukup pesat serta aktivitas masyarakat yang semakin beragam menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia akan sumberdaya. Pemenuhan kebutuhan penduduk akan menyebabkan eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Masyarakat di wilayah DAS pada umumnya merupakan masyarakat agraris yang sangat tergantung dari sumberdaya lahan (PSP IPB, 2005). Bagi masyarakat di sekitar DAS yang tidak mempunyai alternatif lain karena keterbatasan dana, usia atau keahlian, maka bertani/buruh tani masih sangat menjadi pilihan (Prasetyo, 2004). Sebagai akibat dari pilihan tersebut dan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka intensitas pengelolaan semakin meningkat. Ketika masyarakat tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan subsistennya karena keterbatasan lahan yang mereka miliki, maka situasi ini kemudian mendorong mereka melakukan konversi hutan alam menjadi lahan budidaya pertanian, baik berupa kebun campuran, sawah dan lahan kering.

Keberadaan pihak swasta di wilayah DAS, baik dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan juga memberikan pengaruh terhadap perubahan struktur agraria. Permintaan lahan yang tinggi dan tersedianya lapangan kerja di luar sektor pertanian serta kepemilikan lahan yang sempit mendorong pemilik lahan melakukan pengalihan hak atas lahan yang dikuasainya (Mahodo, 1991). Hal inilah kemudian menjadi peluang bagi para pemilik modal untuk melakukan pembelian lahan, sehingga terjadi akumulasi pemilikan lahan, yang kemudian mengakibatkan timpangnya struktur pemilikan penguasaan lahan.

Sihaloho (2004) menjelaskan mengenai faktor-faktor penyebab konversi lahan di Kelurahan Mulyaharja, Bogor, Jawa Barat sebagai berikut:

1. Faktor pertambahan penduduk yang begitu cepat berimplikasi kepada permintaan terhadap lahan pemukiman yang semakin meningkat dari tahun ke tahun;

2. Faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan. Masyarakat pedesaan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui hasil penjualan kegiatan pertanian yang umumnya rendah, berusaha mencari bentuk usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Untuk mendapatkan modal dalam memulai usahanya, petani pada umumnya menjual tanah yang dimilikinya. Masyarakat pedesaan beranggapan akan mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dari penjualan lahan pertanian untuk kegiatan industri dibandingkan harga jual untuk kepentingan persawahan. Di sisi lain pengerjaan lahan pertanian memerlukan biaya tinggi. Sehingga petani lebih memilih sebagian tanah pertaniannya untuk dijual untuk kegiatan non-pertanian;

3. Faktor luar, yaitu pengaruh warga dari desa-kelurahan perbatasan yang telah lebih dahulu menjual tanah mereka kepada pihak Perseroan Terbatas (PT);

4. Adanya penanaman modal pihak swasta dengan membeli lahan-lahan produktif milik warga;

5. Proses pengalihan pemillik lahan dari warga ke beberapa PT dan ke beberapa orang yang menguasai lahan dalam luasan yang lebih dari 10 hektar; dan

6. Intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Berdasarkan RTRW tahun 2005, seluas 269,42 hektar lahan Kelurahan Mulyaharja akan dialokasikan untuk pemukiman/perumahan real estate;

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria juga dijelaskan oleh Zuber (2007), diantaranya:

a) Permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas;

b) Faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan yang menyebabkan lahan pertanian semakin terbagi-bagi menjadi lebih sempit, dan kemudian menyebabkan hasil pertanian semakin kurang menguntungkan. Akibatnya banyak diantara ahli waris yang justru memilih untuk dijual ke orang lain untuk lahektarn non-pertanian;

c) Kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian, penggunaan pestisida ataupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian; dan

d) Kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang sampai sekarang masih sangat pelik. Para petani miskin masih sangat menderita dengan proses input pertanian yang sangat tinggi (high cost), namun di sisi lain penjualan outputnya masih sangat rendah.

2.3 Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan ekosistem dimana jasad hidup dan lingkungannya berinteraksi secara dinamik dan terdapat saling ketergantungan (interdependensi) diantara komponen-komponen penyusunnya. Menurut Arsyad (1989), DAS adalah wilayah yang terletak di atas satu titik pada suatu sungai, yang batas-batas topografi mengalirkan air yang jatuh di atasnya ke dalam sungai yang sama dan melalui titik-titik yang sama pada sungai tersebut. Selanjutnya Asdak (1995) menyatakan bahwa DAS merupakan kumpulan Sub-DAS yang lebih kecil dan jumlahnya sesuai dengan ordo atau jumlah cabang sungainya. Sedangkan menurut pendapat Manan (1998) menyatakan bahwa DAS adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau atau ke laut.

Batasan-batasan DAS menurut Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air (2008) dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu DAS bagian hulu yang didasarkan pada fungsi konservasi untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. Daerah Aliran Sungai bagian hulu ini mempunyai peran paling penting, terutama sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Berikutnya adalah DAS bagian tengah dan bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.

Secara umum terdapat empat jenis bentuk DAS (Sosrodarsono dan Takeda, 1980), yaitu: (a) DAS berbentuk bulu burung. Daerah Aliran Sungai ini mempunyai anak-anak sungai yang langsung mengalir ke sungai utama dan memiliki debit banjir yang kecil, karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai berbeda-beda serta waktu berlangsung agak lama; (b) DAS berbentuk radial. Daerah Aliran Sungai ini mempunyai anak sungai yang memusat pada suatu titik secara radial sehingga menyerupai bentuk kipas atau lingkaran. Daerah Aliran Sungai ini mempunyai banjir yang relatif besar mulai titik pertemuan anak-anak sungainya dan banjir yang terjadi relatif tidak lama; (c) DAS berbentuk paralel. Daerah Aliran Sungai ini mempunyai dua jalur Sub-DAS yang bersatu. Kedua cabang atau ordo sungai pada masing-masing Sub-DAS tersebut membentuk sungai utama. Banjir biasanya terjadi pada bagian hilir di bawah pertemuan kedua anak sungai tersebut dan (d) DAS berbentuk kompleks. Daerah Aliran Sungai DAS ini mempunyai bentuk lebih dari satu pola sehingga polanya menjadi tidak nyata dan sering dijumpai pada DAS yang sangat luas.

2.3 Sistem Pengelolaan DAS Terpadu

Pengelolaan DAS terpadu pada dasarnya merupakan bentuk pengelolaan yang bersifat partisipatif dari berbagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan dan konservasi sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan DAS terpadu mengandung pengertian bahwa unsur-unsur atau aspek-aspek yang menyangkut kinerja DAS dapat dikelola dengan optimal sehingga terjadi sinergi positif yang akan meningkatkan kinerja DAS dalam menghasilkan output, sementara itu karakteristik yang saling bertentangan yang dapat melemahkan kinerja DAS dapat ditekan sehingga tidak merugikan kinerja DAS secara keseluruhan.

Menurut Tim Koordinasi Pengelolaan DAS, sasaran pengelolaan DAS terpadu yang ingin dicapai pada dasarnya adalah: (1) Terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal; (2) Meningkatnya produktivitas lahan pertanian dan hutan; (3) Meningkatnya partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS dan (4) Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Pertama, terciptanya kondisi hidrlogis DAS yang optimal, meliputi hasil air yang memadai baik jumlah, kualitas, kontinuitas serta terkendalinya erosi serta kekeringan. Hasil air yang optimal ditekankan pada kemampuan DAS sebagi suplai sumber air minum penduduk dan untuk keperluan lain rumah tangga, air untuk industri, air untuk irigasi dan air untuk habitat biologi. Kedua, meningkatnya produktivitas lahan di DAS dapat dilihat dari meningkatnya kesuburan tanah, ketersediaan air yang optimal, erosi dan degradasi lahan rendah. Hal ini dapat dilakukan melalui usaha konservasi tanah dan air.

Ketiga, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS. Partisipasi masyarakat dapat dilihat dari kelembagaan lokal (organisasi/kelompok) yang ada di masyarakat. Dimana anggota-anggota masyarakat berusaha meningkatkan kapasitas kelembagaannya dalam mengelola sumberdaya yang ada untuk menghasilkan perbaikan yang berkelanjutan dalam menjaga kelestarian DAS. Hal tersebut senada dengan apa yang dinyatakan Kolopaking dan Tonny (1994), bahwa bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS dapat dilihat dari partisipasi mayarakat yang terorganisir dalam kelembagaan, seperti kelompok tani dan kelompok tradisional. Selanjutanya menurut Kolopaking dan Tonny (1994), tingkat partisipasi masyarakat dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) tingkat partisipasi tinggi, apabila peranserta masyarakat tidak hanya dalam proses pelaksanaan dan pemanfaatan hasil, tetapi juga berperanserta dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan; (2) tingkat partisipasi sedang, apabila peranserta masyarakat hanya dalam proses pelaksanaan dan pemanfaatan hasil dan (3) tingkat partisipasi masyarakat rendah , apabila peranserta masyarakat tidak memenuhi kriteria (1) dan (2). Keempat, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ini dapat dilihat dari pelaksanaan program/kegiatan yang berhubungan dengan upaya menjaga keberlanjutan ekosistem sumber daya hutan, lahan dan air di DAS.

2.4 Pengaruh Perubahan Struktur Agraria terhadap Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Pusat Studi Pembangunan IPB (2005) bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS mengindikasikan telah terjadi proses penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya alam dan degradasi lingkungnan. Diantara perubahan-perubahan penggunaan lahan yang terjadi, perubahan yang paling besar pengaruhnya terhadap kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan lainnya seperti, pertanian, perumahan ataupun industri. Apabila kegiatan tersebut tidak segera dikelola dengan baik, maka akan menyebabkan kelebihan air (banjir) pada saat musim hujan dan kekeringan pada saat musim kemarau. Menurut Hanim (2005), hal ini disebabkan karena perubahan penggunaan lahan yang tidak bijaksana (tidak disertai penanganan tindakan konservasi). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap perubahan kondisi hidrologi DAS (Fakhrudin, 2003).

Untuk memahami pengelolaan DAS, sebaiknya diidentifikasi terlebih dahulu sumber-sumber kerusakan yang terjadi pada wilayah DAS tersebut, seperti kerusakan hutan, tanah dan air serta mencari bentuk-bentuk usaha yang menguntungkan dan mampu menciptakan pelestarian sumberdaya yang ada (Kolopaking dan Tonny, 1994). Selanjutnya Kolopaking dan Tonny (1994) menjelaskan bahwa kerusakan hutan, tanah dan air di beberapa DAS di Pulau Jawa lebih bersumber dari tekanan penduduk, sedangkan kerusakan di luar Pulau Jawa lebih banyak bersumber dari eksploitasi hutan dan program pembangunan yang tidak terkendali.

Bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS dapat dilihat dari partisipasi mayarakat yang terorganisir dalam kelembagaan, seperti kelompok tani dan kelompok tradisional (Kolopaking dan Tonny, 1994). Selama ini dalam pelaksanaan program konservasi dan pengelolaan DAS, yang muncul umumnya berupa bentuk hubungan vertical-instructional dan partisipasi yang semu. Hal ini terjadi karena kelembagaan tradisional semata-mata dipandang sebagai obyek. Selain itu dari sisi masyarakat yang menjadi anggota kelompok tani dan kelompok tradisional, kendala yang mereka hadapi sehingga tidak dapat berpartisipasi sepenuhnya adalah karena faktor pemilikan lahan (Kolopaking dan Tonny, 1994). Sebagai contoh di luar Jawa (DAS Saddang, Jeneberang dan Batanghari) tidak sedikit lahan kritir lahan milik pemerintah yang ditelantarkan. Padahal para petani mau berperanserta melakukan kegiatan konservasi di atas lahan kritis tersebut. Akan tetapi karena status lahan yang tidak jelas dan tidak memiliki kekuatan untuk menguasai lahan tersebut, menyebabkan para petani tidak mampu untuk berpartisipasi dalam program-program konservasi.

2.6 Kerangka Pemikiran

Penjelasan-penjelasan di atas dapat dirangkai menjadi sebuah kerangka pemikiran yang selanjutnya akan menjadi suatu permasalahan baru dalam mengangkat tema mengenai perubahan struktur agraria di wilayah. Sesuai dengan fokus penelitian ini dikemukakan sejumlah faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan struktur agraria dan bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi upaya pencapaian sasaran pengelolaan DAS terpadu.

Struktur agraria pada dasarnya merupakan pola hubungan antar berbagai status sosial menurut penguasaan sumber-sumber agraria. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi hasil”, “ pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan penyewa” dan lain-lain. Kata “pemilik” menunjuk pada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Kata “pengusahaan” mengandung arti pada bagaimana cara caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif.

Pemanfaatan lahan di wilayah DAS yang dilakukan oleh berbagai pihak telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur agraria di wilayah DAS. Perubahan struktur agraria ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) Faktor penduduk; (2) Intervensi Pemerintah; (3) Investasi Swasta (4) Faktor ekonomi; (5) Faktor sosial-budaya; (6) Kerusakan lingkungan dan (7) Kelemahan kelembagaan hukum pertanian.

Perubahan struktur agraria di wilayah DAS tanpa disertai dengan pengelolaan yang baik, seperti berkurangnya luasan hutan menjadi areal lain terutama lahan terbuka, pemukiman dan kegunaan lainnya akan berdampak pada upaya menciptakan pengelolaan DAS terpadu. Untuk melihat hal tersebut, peneliti kemudian melihat bagaimana pengaruh perubahan struktur agraria terhadap sasaran yang ingin dicapai suatu pengelolaan DAS terpadu menurut Tim Koordinasi Pengelola DAS (2003) Sasaran pengelolaan DAS terpadu tersebut diantaranya: (1) Terciptanya kondisi hidrologis DAS yang optimal; (2) Meningkatnya produktivitas lahan; (3) Meningkatnya partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS dan (4) Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Secara skematis, kerangka pemikiran mengenai penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

i34050420-b

Gambar 2. Bagan Kerangka Analisis Pengaruh Perubahan Struktur Agraria

terhadap Pengelolaan DAS

2.7 Hipotesis Pengarah

Untuk kepentingan penelitian ini, sesuai dengan tujuannya diajukan hipotesis pengarah berikut:

1. Diduga faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pengusahaan) di wilayah DAS adalah: pertambahan penduduk, intervensi pemerintah, investasi swasta, faktor ekonomi, faktor sosial budaya (warisan), kerusakan lingkungan dan kelemahan kelembagaan hukum.

2. Diduga perubahan struktur agraria (pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah) di wilayah DAS akan berpengaruh terhadap kondisi DAS yang nantinya akan berpengaruh terhadap sistem pengelolaan DAS terpadu. Hal ini dapat dilihat bagaimana perubahan struktur agraria tersebut mempengaruhi sasaran yang ingin dicapai pengelolaan DAS terpadu.

2.8 Defenisi Konseptual

Sejumlah defenisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Struktur agraria adalah pola hubungan berbagai pihak yang terkait terhadap sumber-sumber agraria yang mencakup pola hubungan pemilikan tanah, penguasaan tanah dan pengusahaan tanah.

2. Pemilikan tanah adalah penguasaan tanah secara formal yang merupakan hak milik yang diakui masyarakat.

3. Penguasaan tanah adalah penguasaan terhadap lahan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan

4. Pengusahaan tanah adalah bagaimana memanfaatkan sebidang tanah secara produktif.

5. Sumber-sumber agraria (obyek-obyek agraria) adalah lahan garapan yang berada di kawasan DAS.

6. Lahan kritis adalah lahan yang keadaan biofisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air.

7. Konservasi tanah adalah upaya mempertahankan, merehabilitasi dan meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukannya.

8. Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) adalah upaya manusia untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan daya dukung lahan agar berfungsi optimal sesuai dengan peruntukannya.

9. Subyek agraria adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria.

10. Pertambahan penduduk adalah meningkatnya jumlah proporsi penduduk pada suatu wilayah tertentu

11. Daerah Aliran Sungai adalah wilayah yang mengalirkan air yang jatuh di atasnya.

12. Sub-DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam beberapa sub-DAS.

13. Sistem pengelolaan DAS adalah pengelolaan sumberdaya DAS yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

14. Sistem pengelolaan DAS terpadu adalah pengelolaan yang partisipatif.

15. Keberlanjutan (sustainable) adalah keberlanjutan program/kegiatan dalam upaya meningkatkan konservasi DAS.

16. Berwawasan lingkungan adalah memperhatikan aspek lingkungan untuk menjaga ekosistem tetap seimbang.

2.9 Defenisi Operasional

Untuk mengarahkan pengumpulan, pengelolaan dan analisis data dalam penelitian dirumuskan sejumlah defenisi operasional sebagai berikut:

1. Perubahan pola pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah dilihat pada:

a. Perubahan subyek yang memiliki, subyek yang menguasai dan subyek yang mengusahakan tanah. Subyek yang memiliki, menguasai dan mengusahakan tanah misalnya masyarakat, swasta dan negara.

b. Perubahan bentuk hubungan antar subyek dan norma-norma yang berlaku (hubungan jual-beli, sewa-menyewa, sakap-menyakap dan lain-lain).

3. Pengaruh perubahan struktur agraria terhadap sasaran pengelolaan DAS terpadu dapat dilihat dari: bagaimana pola pemilikan, penguasaan dan pengusahaan mempengaruhi kondisi hidrologis DAS, partisipasi mayarakat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS, produktivitas lahan dan keberlanjutan program/kegiatan pengelolaan DAS yang berwawasan lingkungan

Kategori-kategori dalam pendekatan kuantitatif sebagai berikut:

1) Kategori luas lahan (hektar):

a) sempit : < 0,25 hektar

b) sedang : 0,25-5 hektar

c) luas : ≥ 0,5 hektar

2) Kategori jumlah jam kerja:

a) < 15 jam per minggu

b) 15-30 jam per minggu

c) ≥ 30 jam per minggu

3) Kategori jumlah pendapatan petani per bulan:

a) < Rp 500.000,00 per bulan

b) Rp. 500.000,00 – Rp. 1.000.000,00 per bulan

c) > Rp. 1.000.000,00 per bulan

4) Kategori tingkat pendidikan responden:

a) tidak sekolah

b) tamat SD/sederajat

c) tamat SMP/sederajat

d) tamat SMA/sederajat

BAB III

METODOLOGI

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Melalui paduan kedua pendekatan itu diharapkan adanya pemahaman terhadap perubahan struktur agraria, faktor-faktor penyebabnya, sistem pengelolaan DAS serta pengaruh perubahan struktur agraria terhadap sistem pengelolaan DAS itu sendiri. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui perubahan struktur pemilikan, penguasaan, pengusahaan.

Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menelusuri lebih jauh perubahan struktur agraria dan faktor penyebabnya serta pengaruhnya terhadap sistem pengelolaan DAS. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus berarti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti dengan menerapkan berbagai metode (Stake, 1994 : 236 dalam Sitorus, 1998 ). Pemilihan strategi tersebut terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu eksplanatif, penelitian ini bertujuan menjelaskan penyebab-penyebab gejala sosial serta keterkaitan sebab akibat dengan gejala sosial lainnya (Sitorus, 1998). Penelitian ini dilakukan guna menerangkan berbagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini mengenai proses perubahan struktur agraria dan dampaknya pada pengelolaan DAS.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Studi ini dilakukan di Desa Cibahayu, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa alasan pemilihan lokasi diantaranya:

a) Lokasi tersebut merupakan salah satu dari enam wilayah yang menjadi sasaran penerapan program penguatan kelembagaan dengan Mikro DAS Mandiri oleh Dinas Kehutanan Tasikmalaya.

b) Keterbatasan sumberdaya untuk peneliti.

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April-Juni 2009. Penjajagan awal telah dilakukan pada tanggal 12 Maret-15 Maret 2009.

3.3 Teknik Pemilihan Responden dan Informan

Populasi dari penelitian ini adalah masyarakat Desa Cibahayu, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Taikmalaya, Jawa Barat yang pernah memiliki lahan pertanian. Populasi diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari data desa. Jumlah responden yang diambil adalah 40 Kepala Rumah Tangga/Kepala Keluarga. Penentuan responden dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) dengan pertimbangan bahwa setiap warga Desa Cibahayu memliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi responden. Kemudian pemilihan informan dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu memilih orang-orang yang dianggap mengetahui secara detail mengenai sistem pengelolaan DAS, perubahan struktur agraria yang terjadi, baik yang berasal dari aparat desa, tokoh masyarakat, BP DAS, Dinas Kehutanan, LSM dan lain-lain.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang akan dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder selama penelitian berlangsung. Pengumpulan data primer diperoleh dari responden dan informan terpilih (subyek penelitian). Data primer yang dikumpulkan terdiri dari:

1. Luas pemilikan dan penguasaan lahan serta luas lahan garapan petani (responden).

2. Faktor penyebab perubahan pemilikan dan penguasaan lahan yang terjadi.

3. Hubungan-hubungan antar berbagai status sosial dalam penguasaan lahan tersebut.

Data primer ini diperoleh dari responden melalui teknik wawancara dengan dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Selain itu, pengumpulan data primer juga dilakukan melalui pengamatan (observasi).

Data sekunder bersumber dari Kantor Kepala Desa Cibahayu, Dinas Tata Ruang Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Kehutanan, Badan Pusat Statistik, Badan Pertanahan Nasional, LSM dan Badan Pengelolaan DAS Cimanuk-Citanduy, buku, situs internet, jurnal-jurnal, skripsi dan tesis serta laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian perubahan struktur agraria dan sistem pengelolaan DAS. Data sekunder yang dikumpulkan:

1. Gambaran umum Desa Cibahayu dan profil masyarakat desa.

2. Data dari aparat desa mengenai pemilikan, pengusaan dan pengusahaan lahan.

3. Kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai partanahan, khususnya yang berkaitan dengan pertanahan di Desa Cibahayu.

4. Kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai sistem pengelolaan DAS.

5. Penelitian-penelitian atau jurnal mengenai sistem pengelolaan DAS.

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data kuantitatif diolah dan disajikan dalam bentuk tabel silang dan presentase, kemudian dipaparkan secara deskriptif. Pengolahan dan analisis data kualitatif dilakukan dengan mereduksi (meringkas) data dan menggolongkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan untuk menjawab pertanyaan analisis di dalam penelitian. Hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis`sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus selama dalam penelitian. Analisis data kualitatif dipadukan dengan hasil interpretasi data kuantitatif.

DAFTAR PUSATAKA

Badan Pusat Statistik. Data Jumlah Penduduk Menurut Propinsi. http://www.datastatistik-indonesia.com. Diakses pada tanggal 12 Maret 2009.

Direktorat Kehutanan dan Konservasi sumberdaya Air. 2008. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. http: www. kehutanan@bappenas.go.id pada tanggal 2 Desember 2009.

Kolopaking, Lala M. 1994. Aspek Kelembagaan dan Partisipasi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu dalam Mimbar Sosek, Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Prasetyo, Lilik Budi. 2004. Perubahan Biofisik dan Penggunaan Lahan DAS Citanduy Tahun 1991-2003 dalam Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System) Daerah Aliran Sungai Citanduy. Project Working Paper Series No. 01. Bogor: Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia-UNDP.

Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor. 2005. Pembaharuan Tata-Pemerintahan Lingkungan. Bogor: Pusat Studi Pembangunan-Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia-UNDP.

R, S. Tejowulan dan Suwardji. 2007. Sistem Ekologi dan Manajemen Daerah Aliran Sungai. Mataram: Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian Univeresitas Mataram.

Sihaloho, Martua. 2004. Konversi lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Tesis Program Pascasarjana IPB-Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Sitorus, MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor.

. 2002. Lingkup Agraria dalam Menuju keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi, Penyunting Endang, Suhendar et al. Yayasan AKATIGA, Bandung.

TKPSDA. 2003. Pedoman Teknis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Diakses Tanggal 2 Januari 2009.

Tjondronegoro, Sediono M. P. 1999. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. AKATIGA. Bandung.

Tonny, Fredian. 2004. Kelembagaan Komunitas Lokal dan Proses-Proses Kebijakan dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy dalam Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System) Daerah Aliran Sungai Citanduy. Project Working Paper Series No. 08. Bogor: Pusat Studi Pembangunan-Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia-UNDP.

Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Ed.), Seri Pembangunan Pedesaan: Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa). Jakarta: PT. Gramedia.

. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist, KPA, Pustaka Pelajar.

. 2001. Struktur Penguasaan Tanah dan Perubahan Sosial di Pedesaan Selama Orde Baru. Diakses Tanggal Desember 2008.

Wiradi, Gunawan dan Makali. 1984. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan dalam Faisal Kasryono (Ed.), Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakrta: Yayasan Obor Indonesia.

White, Benjamin dan Gunawan Wiradi. 1986. Pola-pola Penguasaan atas Tanah Di DAS Cimanuk Dahulu dan Sekarang: Beberapa Catatan Sementara.

Indaryanti, Yoyoh. 2004. Sistem Ekonomi Rumahtangga Komunitas Lokal Di Daerah Alilran Sungai Citanduy dalam Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam (Decentralized Natural Resources Management and Governance System) Daerah Aliran Sungai Citanduy. Project Working Paper Series No. 03. Bogor: Pusat Studi Pembangunan-Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia-UNDP.

Zuber, Ahmad. 2007. Pendekatan dalam Memahami Perubahan Agraria di Pedesaan. Diakses pada http://ahmad.zuber70.googlepages.com pada tanggal 13 Desember 2008.


Lampiran 1. Rencana Jawdwal Penelitian

No

Kegiatan

Maret

April

Mei

Juni

Juli

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1.

Pengumuman Dosen Pembimbing Skripsi

2.

Penulisan Proposal dan Kolokium

1. Penyusunan Draft dan Revisi

2. Konsultasi Proposal

3. Observasi Lapang

4. Kolokium dan Perbaikan

3.

Studi Lapang

1. Pengumpulan Data

2. Analisis Data

4.

Penulisan Skripsi

1. Penyusunan Draft dan Revisi

2. Konsultasi Skripsi

5.

Ujian Skripsi

1. Ujian

2. Perbaikan Skripsi


Lampiran 2. Kuesioner

Pengaruh Perubahan Struktur Agraria terhadap Pengelolaan DAS

(Studi Kasus Wialyah Desa Cibahyu, Kec. Kadipaten, Kab. Tasikmalaya)

Responden yang Terhormat,

Saya adalah mahasiswi Institut Pertanian Bogor, Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Saya sedang melakukan penelitian mengenai Pengaruh Perubahan Struktur Agraria terhadap Sistem Pengelolaan DAS. Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S1).

Saya ucapkan banyak terima kasih atas kesediaan dan waktu Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini.

Hormat saya

Whennie Sasfira Adly

I 34050420

Hari/tanggal : Nomor ID responden :

Lama setiap sesi :

Lokasi :

Petunjuk Pengisian:

Isilah jawaban pada titik-titik, serta berilah tanda silang [X] pada jawaban yang sesuai di bawah ini.

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN

1. Nama :……………………………………

2. Umur :……………………………………

3. Jenis kelamin :…………………………………….

4. Pendidikan terakhir :…………….………………………

[ ] tidak sekolah

[ ] tidak tamat SD

[ ] tamat SD/sederajat

[ ] tamat SMP/sederajat

[ ] tamat SMA/sederajat

5. Tempat tinggal :……………………………….…..

6. Pekerjaan :…………………………………..

7. Lokasi bekerja :……………………………….…..

B. Ekonomi Responden

a) Jumlah Tanggungan

1. Berapa jumlah anggota keluarga Anda (termasuk Anda)?

…….. orang.

2. Berapa jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan Anda (termasuk Anda)?

…….. orang.

3. Apakah ada anak Anda yang masih bersekolah?

[ ] ya [ ] tidak

4. (Jika TIDAK), apa alasannya: ……………………………………………………………………………….

5. Berapa jumlah anak Anda yang masih bersekolah?

……. orang

b) Tingkat Pendapatan Rumah Tangga

6. Apakah ada dari anggota keluarga Anda (tidak termasuk Anda) yang sudah bekerja?

[ ] ya [ ] tidak

(Jika TIDAK), langsung ke nomor 45

7. Berapa jumlah anggota keluarga Anda yang sudah bekerja?

……. orang

8. Apakah sajakah jenis pekerjaan mereka?

……………………….., …………………….., …………………………..

9. Apakah anggota keluarga Anda yang sudah bekerja tersebut membantu Anda dalam memenuhi kebutuhan keluarga?

[ ] ya [ ] tidak

(Jika TIDAK), langsung ke nomor 45

10. Berapa besar bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga Anda yang sudah bekerja tersebut?

Rp.…………,- per hari/ minggu/ bulan*, …………..persen (%) dari kebutuhan keluarga

11. Berapa total pendapatan Rumah Tangga Anda?

Rp……………….. per bulan

12. Apakah dari pendapatan tersebut dapat mencukupi kebutuhan keluarga Anda (terutama dalam hal konsumsi)?

[ ] ya [ ] tidak

Jelaskan: ……………………………………………………………………………………

C. PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA

Pemilikan Lahan, Penguasaan Lahan dan Pengusahaan Lahan.

13. Apakah Anda memiliki lahan?

[ ] ya [ ] tidak

14. (Jika YA),berapa luas lahan tersebut?

………. ha

15. Dalam bentuk apakah lahan tersebut?**

[ ] lahan pertanian [ ] lahan perkebunan [ ] pemukiman [ ] lainnya,……………………..

16. (Jika jawaban LEBIH DARI SATU), berapa perbandingan luas lahan tersebut?

……………. ha untuk pertanian,

………….… ha untuk perkebunan,

……………. ha untuk pemukiman,

……………. ha untuk………………

17. Apakah bentuk lahan tersebut sebelum Anda manfaatkan?

[ ] hutan [ ] semak [ ] lahan kosong [ ] lainnya,……………………………….

18. Apakah lahan tersebut merupakan sumber penghasilan utama bagi Anda?

[ ] ya [ ] tidak

19. (Jika TIDAK), berapa persen pendapatan yang berasal dari lahan tersebut terhadap total pendapatan rumah tangga?

………..% pendapatan rumah tangga

20. Apakah status lahan yang Anda miliki?

[ ] gadai [ ] sewa [ ] bagi hasil [ ] milik

(Jika jawaban GADAI), jawab pertanyaan no 21-22

(Jika Jawaban SEWA), langsung ke nomor 23-35

(Jika Jawaban BAGI HASIL), langsung ke nomor 36-47

(Jika Jawaban MILIK), langsung ke nomor 48-49

21. Mengapa lahan tersebut Anda gadai?

………………………………………………………………………………………………………..

22. Apakah usaha Anda untuk menebus lahan tersebut dan memenuhi kebutuhan hidup Anda selama lahan digadaikan?

………..………………………………………………………………………………………………

23. Bersama siapa Anda melakukan sistem sewa tersebut?

[ ] anggota keluarga lain [ ] sesama warga desa [ ] pihak luar,sebutkan:……………………

24. Mengapa Anda memilih melakukan sistem sewa bersama mereka?

……………………………………………………………………………………………………

25. Bagaimana bentuk sistem sewa yang diterapkan?

……………………………………………………………………………………………………

26. Mengapa Anda lebih memilih sistem sewa dibanding sistem bagi hasil?

…………………………………, ………… ……………………, ………..……………………

27. Apakah dengan sistem sewa tersebut membuat kehidupan Anda merasa cukup terbantu?

[ ] ya [ ] tidak

28. Anda sebagai pihak penyewa lahan atau yang menyewakan lahan?

……………………….

(Jika Anda PIHAK PENYEWA lahan)

29. Apakah dahulunya Anda mempunyai lahan milik?

[ ] ya [ ] tidak

30. Berapa luas lahan tersebut?

…………… ha.

31. Kemudian apakah yang terjadi dengan lahan tersebut?

[ ] dijual [ ] digadai [ ] lainnya:………………………..

(Jika jawaban DIJUAL atau DIGADAI)

32. Mengapa Anda lakukan hal tersebut?

…………………………………………………………………………………………………

33. Kepada siapakah Anda menjual lahan tersebut?

[ ] anggota keluarga lain [ ] sesama warga desa [ ] pihak luar,sebutkan:……………

34. Mengapa Anda memilih menjual kepada mereka?

…………………………………………………………………………………………………..

35. Berapakah harga jual lahan tersebut?

Rp……………..….,- per m2

36. Mengapa Anda lebih memilih sistem bagi hasil dibanding sistem sewa?

………………………….…, …………………………………, ………………………………..

37. Anda sebagai penggarap atau pemilik lahan?

……………………………..

38. Apa nama sistem bagi hasil yang Anda lakukan dan bagaimana bentuk sistem bagi hasil tersebut?

…………………………………, ……………………………………..…………………………

39. Bersama siapakah Anda melakukan sistem bagi hasil?

[ ] anggota keluarga lain [ ] sesama warga desa [ ] pihak luar,sebutkan:………………….

40. Mengapa Anda memilih melakukan sistem bagi hasil bersama mereka?

……………………………………………………………………………………………………

41. Apakah dengan melakukan sistem bagi hasil tersebut membuat kehidupan Anda merasa terbantu?

[ ] ya [ ] tidak

(Jika Anda PIHAK PENGGARAP lahan)

42. Apakah dahulunya Anda mempunyai lahan milik?

[ ] ya [ ] tidak

43. Berapa luas lahan tersebut?

…………… ha.

44. Kemudian apa yang terjadi dengan lahan tersebut?

[ ] dijual [ ] digadai [ ] lainnya:………………………..

(Jika jawaban DIJUAL atau DIGADAI)

45. Mengapa Anda lakukan hal tersebut?

………………………….…, ………………………………….., ……………………………….

46. Kepada siapakah Anda menjual lahan tersebut?

[ ] anggota keluarga lain [ ] sesama warga desa [ ] pihak luar,sebutkan:………………..

47. Berapakah harga jual lahan tersebut?

Rp……………….,- per m2

48. Dari manakah Anda memperoleh lahan tersebut?

[ ] membeli [ ] warisan [ ] warisan dan membeli [ ] lainnya,..………………………

49. (Jika diperoleh dari WARISAN dan MEMBELI), berapa besar perbandingan luas lahannya?

…………….. ha dari warisan, …………………. ha dari membeli

D. Daerah Aliran Sungai

a) Kondisi Hidrologi Sub-DAS

50. Berasal dari manakah sumber air di keluarga Anda?

[ ] sungai [ ] sumur [ ]PAM [ ] lainnya, ..…………………………

(Jika jawaban SUNGAI atau PAM), lanjut ke no berikutnya.

51. Apakah air tersebut mencukupi kebutuhan Rumah Tangga?

[ ] ya [ ] tidak

52. Apakah warna air tersebut?

[ ] bening [ ] kuning [ ]coklat [ ] lainnya, ..………………………

53. Apakah warna air tersebut mengalami perubahan jika musim berubah?

[ ] ya [ ] tidak

54. Menurut Anda apakah penyebabnya?

……………………………………………………………………………………………………………….

55. Pernahkah Anda merasa kesulitan memperoleh air?

[ ] ya [ ] tidak

56. (Jika YA), kapan itu terjadi dan berapa lama?

……………………………, ………………………………………………………………………………

57. Menurut Anda apakah yang menyebabkan kesulitan tersebut?

……………………………………………………………………………………………………………..

58. Menurut Anda apakah hal tersebut ada kaitannya dengan perubahan luas hutan di Sub-DAS ini?

[ ] ya [ ] tidak

59. Apa kegiatan/program yang pernah dilakukan pemerintah menanggapi/mencegah permasalahan tersebut?

……………………………………………………………………………………………………………….

60. Apakah Anda ikut dalam program tersebut?

[ ] ya [ ] tidak

b) Lingkungan DAS

61. Apa saja bencana alam yang pernah terjadi di desa ini?

[ ] banjir [ ] longsor [ ]kekeringan [ ] lainnya, ..…………………………

62. Menurut Anda apakah ada kaitannya dengan ulah manusia?

[ ] ya [ ] tidak

63. (Jika IYA), jelaskan!

………………………………………………………………………………………………………….

c) Organisasi/kelompok

64. Apakah ada oraganisasi/kelompok mengenai DAS di desa ini?

[ ] ya [ ] tidak

65. (Jika YA), apakah anda termasuk anggota/pengurus di kelembagaan itu?

[ ] ya [ ] tidak

66. (Jika YA), apa sajakah kegiatan/program yang pernah dilakukan?

……………………………………….., ………………………………………, …………………………

67. Siapa saja pihak yang terlibat dalam kegiatan/program tersebut?

[ ] masyarakat [ ] swasta [ ] pemerintah [ ] LSM/Akademisi [ ] semua jawaban benar

68. Apakah Anda merasakan manfaat dari kegiatan tersebut?

[ ] ya [ ] tidak

69. (Jika YA), sebutkan!

…………………………………………….

……………………………………………

……………………………………………

70. Apakah program tersebut masih berlanjut hingga sekarang?

[ ] ya [ ] tidak


Lampiran 3. Panduan Pertanyaan

(Untuk Informan)

a) Informan (Aparat Desa/ Tokoh Masyarakat/Ketua dan Beberapa Anggota Kelompok yang Ada Di Desa)

1. Kapan dan bagaimana desa ini berdiri?

2. Bagaimana tingkat pendidikan masyarakat desa ini?

3. Apa rata-rata mata pencaharian masyarakat desa?

4. Kira-kira berapa jumlah petani di desa ini?

5. Apakah semua lahan di desa ini sudah memiliki sertifikasi?

6. Jika ada yang belum, mengapa?

7. Pada umumnya status lahan yang dimiliki masyarakat di sini apa?(milik/gadai/bagi hasil/sewa)

8. Apa dari dahulunya juga begitu?

9. (Jika TIDAK), apa yang menyebabkan status lahan mereka berubah?Apakah harga pupuk dan gabah ada hubungannya dengan status lahan yang dimiliki masyarakat desa?

10. Kepada siapa saja lahan tersebut dijual/digadai/disewa/disakap pada umumnya?

11. Mengapa memilih lahan tersebut dijual/digadai/disewa/disakap pada mereka?

12. Siapakah orang-orang tergolong pemilik lahan luas di desa ini?

13. Apakah luas lahan menggambarkan status sosial di desa ini?

14. Bagaimana sistem pewarisan lahan di desa ini?

15. Bagaimana jika lahan yang diwariskan itu diperjualbelikan? Bolehkah?

16. Sudah berapa lama perkebunan jagung ada di desa ini?

17. Apa dampak keberadaan perkebunan ini terhadap kehidupan ekonomidan kepemilikan lahan masyarakat desa?

18. Apakah masih ada hutan di desa ini?

19. Apakah pengertian hutan menurut Anda? Seberapa penting keberadaan hutan bagi Anda?

20. Apakah luas hutan mengalami perubahan?

21. Mengapa luas hutan tersebut berubah?

22. Apakah dampak perubahan tersebut terhadap kehidupan masyarakat?

23. Apa dampak tersebut ada hubungannya dengan jumlah air sungai dan kualitasnya?

24. (Jika YA), apa dampaknya?

25. Apakah tindakan pemerintah dalam menanggapi hal tersebut?

26. Apakah Anda tahu mengenai peraturan pemanfaatan lahan di wilayah DAS?

27. (Jika YA), apa peraturannya?

28. Menurut Anda fungsi peraturan tersebut?

29. Apakah ada aturan tersendiri yang dibuat warga untuk menjaga kelestarian hutan?Jelaskan!

30. Apa saja organisasi/kelompok di desa ini? (Apa ada organisasi/kelompok yang berhubungan dengan DAS?Kapan berdiri)

31. (Jika ADA), bagaimana pembentukkannya dan apa kegiatannya?

32. (Jika TIDAK ADA), dirasa perlukah organisasi tersebut? Mengapa?

33. Apakah ada rencana untuk membentuk organisasi tersebut?

34. Dari mana sumber dana?

35. Apa saja kegiatan yang dilakukan organisasi/kelompok tersebut untuk kepentingan masyarakat desa?

36. Dari mana dana pelaksanaan kegiatan organisasi?(Apakah pernah melakukan kerjasama dengan pemerintah/ swasta/ LSM/akademisi)

37. Apakah manfaat yang dirasakan dari program/kegiatan tersebut?

38. Apa kegiatan/program tersebut masih berlanjut hingga sekarang?

b) Informan (BP DAS/ BP SDA)

1. Bagaimana sistem pengelolaan DAS Citanduy, khususnya Sub-DAS Cibahayu? (Kebijakan, prinsip pengelolaan, tujuan dan sasaran pengelolaan)

2. Bagaimana kondisi hidrologis DAS Citanduy, khususnya Sub-dAS Cibahayu?

3. Apakah kendala yang dihadapi untuk tetap menjaga kondisi hidrologis DAS?

4. Apakah perubahan pemilikan, penguasaan maupun pengusahaan lahan yang dilakukan baik masyarakat maupun swasta di wilayah DAS berpengaruh terhadap kondisi hidrologis DAS?

5. Apa usaha yang dilakukan untuk mengahadapi hal tersebut?

6. Apakah usaha tersebut berjalan dengan baik dan berlanjut hingga sekarang?

7. Apakah ada kelembagaan di masyarakat yang berhubungan dengan sistem pengelolaan DAS?

8. Sampai sejauhmana masyarakat, swasta, LSM dan akademisi ikut dilibatkan dalam sistem pengelolaan DAS?

9. Apa bentuk keterlibatan mereka, terutama masyarakat dalam sistem pengelolaan DAS, khususnya di DAS Sub-Cibahayu? (perencanaan, pelaksanaan, pengambilan keputusan dan evaluasi)

10. Apakah perubahan struktur agraria di wilayah DAS berpengaruh terhadaap kelembagaan pengelolaan DAS?Apakah ada kelembagaan baru guna menghadapi hal tersebut?

11. Bagaimna keadaan lingkungan Sub-DAS saat ini?

12. Apakah mengalami perubahan?Jelaskan!

13. Bencana apa saja yang pernah terjadi?

14. Apa usaha yang dilakukan untuk menanggulangi bencana maupun mencegah bencana untuk terjadi lagi?

15. Apakah perubahan pemilikan, penguasaan maupun pengusahaan lahan yang dilakukan baik masyarakat maupun swasta di wilayah Sub-DAS tersebut ikut andil dalam perubahan lingkungannya?

16. Apakah usaha yang dilakukan untuk menghadapi masalah tersebut?

17. Apakah bentuk partisipasi masyarakat, swasta, LSM dan akademisi dalam menjaga lingkungan Sub DAS?

18. Bagaimana asas legalitas yang mengatur sistem pengelolaan Sub-DAS?

19. Apakah ada ketidakjelasan peraturan dalam sistem pengelolaan Sub-DAS?Jelaskan!

c) Informan (BPN/Dishut)

1. Bagaimana peraturan mengenai pemanfaatan lahan di wilayah Sub-DAS Cibahayu?

2. Apakah ada batasan-batasan bagi siapapun yang ingin memanfaatkan lahan di wilayah Sub-DAS?

3. Mengapa dibuat batasan-batasan tersebut?

4. Bagaimana implementasi peraturan tersebut?

5. Apa permasalahan yang dihadapi dalam implementasi peraturan tersebut?

6. Apakah usaha yang telah dilakukan dalam mengatasi hal tersebut?

7. Bagaimana kondisi hutan/lahan konservasi di wilayah Sub-DAS Cibahayu?

8. Apakah mengalami perubahan luas?

9. Apa yang menyebabkan perubahan tersebut?

10. Bagaimana dampak perubahan luas tersebut terhadap kondisi hidrolosi dan lingkungan Sub-DAS?

11. Apa usaha yang dilakukan untuk mengatasinya dan mencegah hal itu terjadi lagi?

12. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat, swasta, LSM dan akademisi dalam usaha tersebut?

13. Apakah bentuk kegiatan/program yang dilakukan masih berlanjut hingga sekarang?


Lampiran 4. Teknik Pengumpulan Data

No.

Tujuan Penelitian

Aspek Kajian

Sumber Data

Metode

Pengumpulan Data

No. Kuesioner/

Panduan Pertanyaan

1.

Gambaran umum Desa Cibahayu dan profil masyarakat Desa Cibahayu

· Sejarah dan perkembangan desa

· Keadaan geografis dan demografi

· Struktur organisasi sosial masyarakat

· Data sekunder:

Data dari kantor kepala desa, BPS

· Data Primer:

Aparat desa, tokoh dan anggota masyarakat.

· Studi literatur

· Kuesioner

· Wawancara

· Pengamatan

· Kuesioner:

A. 1-7.

B. a). 1-5.

b). 6-12.

· Panduan Pertanyaan:

a). 1, 2, 3, 30, 34-38.

2.

Mengetahui sistem pengelolaan Sub-DAS Cibahayu

· Kondisi hidrologis DAS yang optimal

· Partisipasi masyarakat meningkat

· Produktivitas lahan dan hutan yang meningkat

· Berkelanjutan dan

· Berwawasan lingkungan

· Data sekunder:

Data dari kantor BP DAS, Dishut, jurnal-jurnal, data dari LSM, laporan penelitian.

· Data Primer:

Informan (pihak BP DAS, Dishut, LSM, ) dan responden (masyarakat desa)

· Studi literatur

· Wawancara

· Kuesioner

· Pengamatan

· Kuesioner:

D. a). 50-54, 55, 56.

b). 61.

c). 64-70.

· Panduan Pertanyaan:

a). 31-33

b). 1-3, 7-9, 11-14, 17, 18.

3.

Mengetahui perubahan struktur agraria

· Pemilikan lahan

· Penguasaan lahan

· Pengusahaan lahan

· Data sekunder:

Data dari kantor BPN, tokoh masyarakat, aparat desa.

· Data Primer:

Informan (aparat desa, tokoh masyarakat, pihak BPN, Dishut, LSM ) dan responden (masyarakat desa)

· Studi literatur

· Wawancara

· Kuesioner

· Pengamatan

· Kuesioner:

C. 13-16, 18-20, 22-23, 25-31, 33-39, 41-44, 46, 47.

· Panduan Pertanyaan:

a). 4, 5, 7, 8, 10, 12, 13, 18-20, 26-28.

c). 1-7.

4.

Mengetahui faktor-faktor penyebab perubahan struktur agraria

· Pertambahan penduduk

· Intervensi pemerintah

· Investasi Swasta

· Faktor ekonomi

· Faktor sosial budaya (warisan)

· Kerusakan lingkungan

· Kelemahan kelembagaan hukum pertanian

· Data Primer:

Informan (aparat desa, tokoh masyarakat, pihak BPN) dan responden (masyarakat desa).

· Data Primer:

Informan (aparat desa, tokoh masyarakat, pihak BPN, Dishut, LSM ) dan responden (masyarakat desa)

· Studi literatur

· Wawancara

· Kuesioner

· Pengamatan

· Kuesioner:

C. 17, 21, 24, 32, 24, 32, 34, 40, 45, 48, 49.

· Panduan Pertanyaan:

a). 6, 9, 11, 14-17, 21, 22, 26-29.

c). 8, 9.

5.

Mengetahui pengaruh perubahan struktur agraria terhadap sistem pengelolaan DAS

· Bagaimana perubahan struktur meliputi perubahaan pemilikan lahan, penguasaan lahan dan pengusahaan lahan mempengaruhi sasaran pengelolaan DAS terpadu yang dilihat dari Kondisi hidrologis DAS yang optimal, Partisipasi masyarakat meningkat, berkelanjutan produktivitas lahan yang meningkat dan berwawasan lingkungan

· Data Primer:

Informan (aparat desa, tokoh masyarakat, pihak BPN) dan responden (masyarakat desa).

· Data Primer:

Informan (aparat desa, tokoh masyarakat, pihak BPN, Dishut, LSM ) dan responden (masyarakat desa)

· Studi literatur

· Wawancara

· Kuesioner

· Pengamatan

· Kuesioner:

D. a). 54, 57-60.

b). 62, 63.

· Panduan Pertanyaan:

a). 23-25.

b). 4-5, 10, 15,16, 19.

c). 10-13.

Posted in agraria, daerah aliran sungai, Jawa Barat, tasikmalaya | Dengan kaitkata: , , , | Leave a Comment »